Syarif Husni's Greeting


Minggu, 02 Oktober 2011

Dawai Rindu untuk Abang


LANGIT MALAM diatas atap sebuah bangunan rumah sederhana disebuah desa kecil di pelosok Lombok kembali mendung. Entah untuk kesekian kalinya langit selalu mendung. Di sana, di langit itu tidak ada bintang. Tidak ada bulan. Tidak ada cahaya. Gelap. Hambar. Kosong. Senada dengan hatiku saat ini.
 
Kupandangi seisi rumah sederhana itu. Dua buah kertas buffalo warna pink dan putih, dengan coretan boardmarker hitam, serta lakban hitam pada empat sudutnya menempel di dinding bangunan itu.  Sebuah gelas kaca kecil dibiarkan tergeletak begitu saja di atas kusen jendela dapur yang tersambung langsung dengan ruang tamu rumah sederhana itu. Didapur nampak beberapa piring tersusun menumpuk serta sebuah lampu minyak berdiri di pojok. Rumah ini sudah lama tidak berpenghuni, sejak beberapa bulan yang lalu. Tetapi buatku, mengunjungi rumah ini adalah rutinitas yang selalu ingin kuulangi; dari jam ke jam, hari ke hari. Dan kali ini aku datang lagi untuk menemuimu. Adakah kau tahu itu?.
***

Minggu, 26 Juni 2011

Para Pewaris Penyakit Andrea part 1 : "Cinta adalah tumpukan pasir campur kerikil rasa kolam renang biru".


Tak kusangka, bercengkerama dengan Padang Bulan-nya Andrea Hirata telah menyadarkan aku akan satu hal. Bahwa cinta beda tipis dengan kegilaan!.

Andrea bercerita bagaimana dia tergila-gila pada sosok gadis Tionghoa anak pedagang Kelontong disudut pasar di Belitong sana. Cinta yang membuat Andrea melakukan hal-hal gila yang tak pernah mampir dibenaknya sebelum itu. Cinta yang menyeruak tiba-tiba ketika dia di minta untuk membeli kapur tulis di toko kelontong tua itu. Dan tanpa diduga-duga, laksana dipanah berkali-kali oleh cupid, Andrea dihantam oleh perasaan yang aneh ketika melihat tangan yang menyodorkan kotak kapur tulis dibalik loker toko kelontong itu. Tangan itu bukanlah tangan kekar dan keriput seperti biasanya. Tangan itu adalah tangan yang putih mulus dengan kuku-kuku yang bersih dan wangi. Seketika dada Andrea kecil dipenuhi bunga-bunga yang entah datangnya dari mana. Belakangan ia mengerti bahwa itulah cinta. Bahkan cinta pada bentuknya yang paling klasik : cinta pada pandangan pertama. Sejatinya, pada pandangan tangan pertama!.

Senin, 16 Mei 2011

Siapa Bilang Aktivis Dakwah Ngga Boleh Jatuh Cinta


Penulis: Adriana

Ngomongin masalah cinta, memang tiada habisnya… dari ABG sampe kakek-nenek. Coba deh kamu tanya sama kakek atau nenek kamu tentang kata yang satu ini, pasti aura wajahnya berbinar seketika, mungkin mengingat masa mudanya yang telah lalu dan bercerita dengan semangat jiwa mudanya, tapi nggak usah jauh-jauh tanya ke nenek atau kakek deh, tanya aja ke orang tua kamu! Pasti langsung senyum ketika ditanya. Kenapa? Karena manusia hidupnya tidak jauh dengan cinta… karena setetes sifat-Nya telah diwariskan pada kita…Ar-Rahman & ar-rahiim yang identik dengan kecintaan.
Tulisan ini adalah pengalaman saya dengan beberapa teman, ngomong-ngomong masalah cinta di kalangan aktivis dakwah mungkin masih agak malu ya? (Hahaa…padahal diem-diem suka juga tuh ngomongin hayooo ngaku!). Aktivis dakwah dikenal sebagai orang yang katanya anti-pacaran (ya iyalah…kecuali setelah nikah)

Doa Seorang Akhwat



Buat semua yang merasa dirinya seorang akhwat ataupun seorang ukhti, amini doa ini.
Buat selain akhwat atau ukhti baca dan renungi doa ini

Tuhanku…
Aku berdo’a untuk seorang pria yang akan menjadi bagian dari hidupku
Seseorang yang sungguh mencintaiMu lebih dari segala sesuatu
Seorang pria yang akan meletakkanku pada posisi kedua di hatinya setelah Engkau
Seorang pria yang hidup bukan untuk dirinya sendiri tetapi untukMu

Minggu, 24 April 2011

Ba’a


      Cerpen : Syarif Husni*)

IA termangu di kursi tua rumahnya. Raut mukanya seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Seakan ia sedang bermimpi. Di dalam mimpinya ia mendengar kata-kata itu diceritakan oleh seorang ina1 paruh baya. Tetapi, ketika matanya mengamati sekelilingnya, ia tersadar bahwa ia tidak sedang bermimpi. Pemandangan yang terpampang didepan matanya jelas adalah sebuah kenyataan. Pemandangan yang hampir sama sejak tiga tahun yang lalu. Sebuah ruang tamu rumah panggung sederhana dengan empat buah kursi plastik warna hijau tanpa meja, sebuah meja kayu besar, sebuah ranjang kayu, sebuah neon yang tergantung langsung dibawah genteng rumah karena rumah tersebut tidak memiliki plafon, beberapa poster dan kaligrafi mewarnai dinding rumah yang terbuat dari papan, serta tikar yang terbuat dari daun pandan tergelar dilantai rumah. Dari tempat duduknya, ia dapat langsung memandang isi kolong rumah tersebut melalui celah papan lantainya.
Ba’a Ranggae..” suara itu kembali menyadarkannya.
“Ruma Tala na wa’ura ka eda sama mena wua rawi manusia ma mbai2..”.
Entah kenapa ia begitu risih mendengar kata itu. Bulu kuduknya merinding mendengarnya. Kata itu memiliki kekuatan magis yang luar biasa. Apalagi kata itu diucapkan oleh orang yang sangat dia hormati dan dia keramatkan, Ina. Ia merasakan semua persendiannya hancur dan darahnya memancar keluar begitu kata itu keluar dari mulut Ina-nya. Tubuhnya gemetar. Bibirnya pucat mengucapkan kembali kata itu. Lirih. Ba’a!. Oh, betapa ngerinya!.

Senin, 18 April 2011

LOMBA MENULIS CATATAN HEROIK PEREMPUAN “GIRL’S POWER” Oleh : EL Kinanti


Oleh : EL Kinanti
 Bismillahirrahmanirrahim...
LATAR BELAKANG
  Temans, sepanjang bulan April hingga Mei ternyata adalah bulan-bulan penuh catatan heroik, baik dari kategori pahlawan wanita, pahlawan pendidikan hingga pahlawan revolusi yang terabadikan dalam Hari Besar Nasional : Hari Kartini (21 April), Hari Pendidikan Nasional (2 Mei) hingga Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei).
Hingga tergelitik rasanya ingin mengabadikan momen terindah ini dalam sebuah catatan heroik perempuan, dalam sebuah lomba menulis bertemakan GIRL’S POWER. Tulisan tidak selalu harus bertemakan tentang pejuang nasional, namun siapapun di sekitar kita bisa saja bersikap dan bermental pejuang. Terbuka untuk lelaki atau perempuan, cowok atau cewek, asalkan tokoh dalam tulisan notabene ‘Perempuan’, dan orang yang memang kamu kenal baik

Kamis, 07 April 2011

Murka Seorang Sahabat

Siang ini, disaksikan mentari
Aku tegaskan padamu, sobat
Bahwa aku bukanlah gundikmu!

Tak perlu suara lantangmu
Atau urat lehermu yang mengerang
Juga ancaman gelapmu
Karena aku tidak tuli, sobat
Bahkan dengan isi batok kepalamu sekalipun!

Rabu, 06 April 2011

Sajak Orator

Pagi ini…
Ingin kupekikkan jerit hati ini
Kepada mereka yang duduk di kursi empuk di atas gedung sana
Kepada mereka yang mengenakan seragam kepahlawanan tetapi selalu kalah perang
Kepada mereka yang dihadiahi korek kuping besar oleh anak negeri
Kepada mereka yang matanya selalu terlelap dan mulut yang hanya bisa bilang “setuju”

Laki-Laki Pencari Tuhan


Aku tidak tahu persis sejak kapan ia pertama kali mengunjungiku. sebulan, dua bulan yang lalu. Entah. Sungguh aku tidak ingat. Belakangan aku sering melihatnya mengunjungiku. dengan wajah yang ceria. Tetapi lebih sering ia datang padaku dengan tatapan kosong dan hampa. Seperti siang ini. Ia datang membawa mendung. Dan seketika hujan ketika ia berada di pintu-Nya, tepat di depanku..
Usianya masih sangat muda. Dua puluh lima tahun. Ia datang padaku dengan mengenakan celana kain hitam, kemeja kotak-kotak, dan berkopiah putih serta seperti biasa, tas ransel yang selalu sesak. Biasanya tas itu berisi buku-buku, dan terkadang sarung dan juga jaket. Ia berjalan lemah, membawa mendung. Setelah berwudhu, laki-laki itu menghampiriku. Ranselnya ia sandarkan dipunggungku yang dingin. Dan ia tenggelam dalam takbirnya, mencari Tuhan yang hilang!.

Selasa, 05 April 2011

Mom


When I was a child, I cried a lot
Coz I knew I was nothing
But slowly I felt
I was everything for you
In your breathe
In your heart

Sekarat

Tertatih aku menggapaimu
Berlari
Tersandung
Jatuh
Berdarah-darah
Dan sakarat!

Kenapakah hati tak jua menyerah?

Dengan segenap kuat yang ada
Ku kembali berlari
Tersandung
Jatuh
Berdarah-darah
Dan sekarat!

Adakah kau di sana mengerti
Bahwa berdarah-darah aku mempertahankannya!



(Penghujung 2008)

Minggu, 03 April 2011

Sajak Sesal



Haruskah begini?
Tak ada ruang untuk bicara
Tentang rindu yang mati
Diujung keris egoku dan egomu
Tentang mimpi yang pupus
Dibawah pelangi yang tak kunjung hujan

Haruskah kita rubuhkan?
Gubuk mimpi yang hampir sempurna kita bangun
Dengan atap daun rindu dan lantai yang kita sulam dari butir-butir setia
Tidakkah kau ingat betapa kita memisahkan kerikil-kerikil kecil dari pasir komitmen yang kita ciduk di kedalaman sungai hati?
“Ini akan merusak bangunan rumah kita. Ia harus dibuang!” katamu.

Kemudian kita melukis bersama
tentang syurga yang ‘nak kita pinjam dan kita bawa pulang

oh seandainya pagi tidak terlalu dini menyapa
bukankah kita masih bisa melanjutkan mimpi?
Mimpi yang pupus itu
Dibawah pelangi yang tak pernah kunjung hujan


Lombok, 030411 pkl 19.20

Rabu, 16 Maret 2011

Aku, Kau, dan Hujan

Hujan selalu membuatku senang. Seperti sore ini. Karena hanya hujan yang mampu menghadirkanmu di sisiku, Adrian..

Kau akan datang bersama hujan. Menghampiriku yang sedang sendiri di jendela kamarku. Perlahan kau akan meraih tanganku dan mengecup pelan keningku. Mengusir semua luka dan perihku.

Namun sore ini kau belum jua datang. Padahal aku telah menunggumu lama, bersama pelangi. Kenapakah? Tidak sayang-kah kau padaku?.

“Kita tidak bisa bersama Laura. Dimensi kita beda” bisikmu di hujan kemarin dan hujan kemarin-kemarinnya lagi. Selalu sama.

“Tetapi aku dapat menyentuhmu. Merasakanmu..”. Dan sejak hujan itu kau menghilang tanpa jejak.


Aku masih di sini, Adrian, menanti bersama hujan!.


Lombok, 120311

100 kata pas, tidak termasuk judul.
(Kisah ini diikutkan pada lomba FF 100 kata Long Distance Love (LDL) Mayasmara)

Minggu, 30 Januari 2011

Satu Isyarat Cinta

“Dek, kuingin engkau jadi akhwatku. Bilakah suatu saat nanti, engkau berkenan, maka Mas mohon berilah sebuah isyarat…”
***
Namaku Aida Zahratul Aini. Biasa dipanggil Aini. Aku terlahir sebagai wanita yang [mungkin] paling beruntung di dunia ini. Aku dianugerahi fisik yang sempurna. Hampir setiap teman laki-lakiku akan memuji kecantikanku.
“Aini, maukah kau jadi kekasih hatiku?” tanya Bayu, seniorku di kampus, lewat pesan singkat di handphone-ku.

Ayah, ternyata beginilah rasa keringatmu!

Ayah, selama bertahun-tahun aku meneguk keringatmu. Memerasnya bahkan sampai kering tak bersisa di badan lemahmu, tanpa peduli keluhmu. Selama itu pula aku buta dan mati rasa. Lidahku tiada mampu merasai rasa keringatmu!.
Ayah, seandainya saat ini engkau memintaku untuk mengembalikan keringatmu yang aku teguk habis, maka ambillah ia. Sesukamu. Bahkan dengan suka rela kan ku peras keringatku untukmu. Bilakah itu masih kurang, maka peraslah darahku. Sampai kering bahkan. Agar aku dapat merasa apa yang engkau rasa ketika aku memaksamu berkeringat!.
Oh Ayah..
Teringat aku ketika mentari memanggang kulitmu. Ketika debu memerahkan matamu. Ketika hiruk pikuk manusia melelahkan ragamu. Ketika tuntutan kebutuhan kami sebagai anak-anakmu semakin menambah gurat tua wajahmu. Dan hal itu semua, sekali lagi, memeras habis keringatmu!. Namun, sangat jarang aku dengar keluh keluar dari mulutmu…
Ayah…
Hari ini…
Setelah bertahun-tahun, akhirnya aku baru mampu merasai rasa keringatmu. Aku baru tahu bagaimana rasanya ketika keringat menetes dari kulitku. Aku baru tahu apa yang engkau rasakan ketika terik memanggang hangus kulitmu. Aku baru tahu apa yang engkau rasa ketika beban berat ada di pundakmu. Dan aku juga mulai paham, pantaslah ragamu kian hari kian lemah. Wajarlah engkau kadang-kadang marah ketika aku merengek minta uang tunggakan sekolah, tanpa peduli rambutmu yang mulai memutih karena memikirkan kami, anak-anakmu!.
Duhai engkau yang jauh diseberang sana…
Maafkan bila aku belum mampu penuhi inginmu. Hidup memang keras, seperti katamu. Tetapi aku harus jadi pemenang, harapmu. Dan, suatu saat nanti aku akan buktikan itu, walau aku tidak tahu entah kapan. Semoga masih ada sedikit waktu untuk kembali bersua denganmu...
Dan saat ini, duhai engkau yang jauh di sana..
Aku hanya ingin engkau tahu satu hal : bahwa anakmu sekarang sudah mulai mengerti akan “rasa” keringatmu!.
Dan mulai suka dan terbiasa "berkeringat"!. Seperti engkau..
"Hidup memang keras anakku. Tapi engkau 'kan taklukkannya..."


[SH, Mataram, Rabu 12 Jan 2011 : mengenang Ayah ketika keringatku tercurah….]