Syarif Husni's Greeting


Minggu, 30 Januari 2011

Satu Isyarat Cinta

“Dek, kuingin engkau jadi akhwatku. Bilakah suatu saat nanti, engkau berkenan, maka Mas mohon berilah sebuah isyarat…”
***
Namaku Aida Zahratul Aini. Biasa dipanggil Aini. Aku terlahir sebagai wanita yang [mungkin] paling beruntung di dunia ini. Aku dianugerahi fisik yang sempurna. Hampir setiap teman laki-lakiku akan memuji kecantikanku.
“Aini, maukah kau jadi kekasih hatiku?” tanya Bayu, seniorku di kampus, lewat pesan singkat di handphone-ku.

Ayah, ternyata beginilah rasa keringatmu!

Ayah, selama bertahun-tahun aku meneguk keringatmu. Memerasnya bahkan sampai kering tak bersisa di badan lemahmu, tanpa peduli keluhmu. Selama itu pula aku buta dan mati rasa. Lidahku tiada mampu merasai rasa keringatmu!.
Ayah, seandainya saat ini engkau memintaku untuk mengembalikan keringatmu yang aku teguk habis, maka ambillah ia. Sesukamu. Bahkan dengan suka rela kan ku peras keringatku untukmu. Bilakah itu masih kurang, maka peraslah darahku. Sampai kering bahkan. Agar aku dapat merasa apa yang engkau rasa ketika aku memaksamu berkeringat!.
Oh Ayah..
Teringat aku ketika mentari memanggang kulitmu. Ketika debu memerahkan matamu. Ketika hiruk pikuk manusia melelahkan ragamu. Ketika tuntutan kebutuhan kami sebagai anak-anakmu semakin menambah gurat tua wajahmu. Dan hal itu semua, sekali lagi, memeras habis keringatmu!. Namun, sangat jarang aku dengar keluh keluar dari mulutmu…
Ayah…
Hari ini…
Setelah bertahun-tahun, akhirnya aku baru mampu merasai rasa keringatmu. Aku baru tahu bagaimana rasanya ketika keringat menetes dari kulitku. Aku baru tahu apa yang engkau rasakan ketika terik memanggang hangus kulitmu. Aku baru tahu apa yang engkau rasa ketika beban berat ada di pundakmu. Dan aku juga mulai paham, pantaslah ragamu kian hari kian lemah. Wajarlah engkau kadang-kadang marah ketika aku merengek minta uang tunggakan sekolah, tanpa peduli rambutmu yang mulai memutih karena memikirkan kami, anak-anakmu!.
Duhai engkau yang jauh diseberang sana…
Maafkan bila aku belum mampu penuhi inginmu. Hidup memang keras, seperti katamu. Tetapi aku harus jadi pemenang, harapmu. Dan, suatu saat nanti aku akan buktikan itu, walau aku tidak tahu entah kapan. Semoga masih ada sedikit waktu untuk kembali bersua denganmu...
Dan saat ini, duhai engkau yang jauh di sana..
Aku hanya ingin engkau tahu satu hal : bahwa anakmu sekarang sudah mulai mengerti akan “rasa” keringatmu!.
Dan mulai suka dan terbiasa "berkeringat"!. Seperti engkau..
"Hidup memang keras anakku. Tapi engkau 'kan taklukkannya..."


[SH, Mataram, Rabu 12 Jan 2011 : mengenang Ayah ketika keringatku tercurah….]