#Mengurai
makna ‘cinta’ dan ‘kesempatan’ dengan pemahaman baru dan berbeda#
Sunset Bersama Rosie.
Inilah novel ke sekian Tere-Liye yang saya tuntaskan, setelah sebelumnya juga
menuntaskan novel Tere-Liye lainnya, Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin.
Sunset Bersama Rosie
adalah novel ke sekian Tere-Liye yang juga sukses bikin orang nelangsa gak
karuan. Tere-Liye memang selalu begitu. Selalu mengesankan ketika menulis.
Selalu membuat orang menangis ketika membaca tulisan-tulisannya. Penulis yang
satu ini barangkali memiliki hati yang sangat peka, atau supersensitif,
sehingga ketika menulis selalu mampu menyentuh hati orang lain, sekeras apapun
hati itu.
Membaca Sunset
Bersama Rosie, berarti membaca kisah sebuah keluarga kecil di Gili
Trawangan, Lombok. Sebuah kisah yang telah berpilin sejak berpuluh-puluh tahun
silam. Sejak Tegar, Rosie, belum mengenal yang namanya cinta. Sejak mereka masih berseragam putih merah.
Namun semua berubah dua
puluh tahun kemudian. Sebuah cerita yang berbeda.
Sebuah peristiwa yang mengajarkan kita tentang arti kesempatan. Sama seperti pemahaman yang didapatkan Tegar. Bahwa
sebenarnya tangan kita kuasa menciptakan kesempatan
itu, sebelum kita menyerahkan Dia yang menciptanya untuk kita.
Rosie, anak seorang
pengusaha resor di Gili Trawangan, Lombok, bersahabat baik dengan Tegar, anak
dari Gili yang sama. Sejak kecil. Sejak SD. Berangkat sekolah samaan. Bermain
hujan samaan. Mandi di pantai samaan. Persahabatan yang indah. Bahkan sejak
mereka belum paham akan sejuntai perasaan yang belakangan bernama cinta.
Persahabatan itu
berlanjut hingga mereka kuliah ke luar Gili Trawangan, tepatnya di Bandung.
Sesekali mereka memanfaatkan liburan semester untuk kembali ke Gili Trawangan.
Kembali melakukan aktivitas-aktivitas masa kecil dahulu. Bermain pantai,
hujan-hujanan. Memandangi sunset nan indah. Mendaki Gunung Rinjani. Memetik
Edelweis. Memandangi keindahan Segara Anakan.
Namun kebersamaan itu
hancur seketika ketika seseorang masuk dalam hubungan persahabatan itu. Nathan,
pemuda yang dikenalkan Tegar kepada Rosie, sempurna mengambil alih nakhoda
persahabatan itu. Dua bulan mengenal Rosie, Nathan menyatakan perasaannya. Dan Rosie,
tanpa mengerti perasaan Tegar, sahabat kecilnya yang telah menemani
hari-harinya selama dua puluh tahun, menerima uluran perasaan yang diutarakan
Nathan. Pernyataan cinta itu diungkapkan ketika mereka bertiga mendaki Rinjani.
Tepat saat purnama sempurna di langit Lombok.
Dan pernyataan Nathan
hanya beda satu malam dengan pernyataan yang akan diutarakan Tegar. Tegar
berniat menyatakan perasaan itu kepada Rosie keesokkan harinya, saat mentari
sempurna menyapa Segara Anakan. Namun, apa daya, ketika kesempatan itu lebih dulu direnggut Nathan, sahabat yang ia
kenalkan sendiri ke Rosie dua bulan sebelumnya. Maka, sempurnalah sekeping hati
itu hancur, berkeping-keping. Dua bulan
yang dimiliki Nathan setara dengan dua puluh tahun yang dimiliki Tegar.
Beberapa kali Tere-Liye mengulang kalimat itu!
Singkat cerita, sejak
menyaksikan pernyataan dan penerimaan perasaan itu, Tegar memutuskan menghilang
dari kehidupan Rosie, orang yang dicintainya sejak dua puluh tahun yang lalu.
Sebuah rentang waktu yang cukup lama untuk memendam perasaan, bukan? Tegar
bahkan tidak tahu bahwa Rosie pun menyadari perasaan (yang sama) sesaat sebelum
acara pernikahannya dengan Nathan. Dan ia membatalkan acara pernikahan tersebut
demi mengharapkan Tegar (akan) kembali. Namun yang ditunggu, tak jua datang dan
menghilang tanpa kabar. Tegar memutuskan untuk membenamkan diri dalam kesibukan
ibu kota. Ia memutuskan bekerja pada sebuah perusahaan besar di Jakarta,
selepas kuliah.
“Pagi,
berarti satu malam dengan mimpi-mimpi yang menyesakkan terlewati lagi;
malam-malam panjang, gerakan tubuh resah, kerinduan, dan helaan napas tertahan”
Inilah kalimat yang
dituliskan Tere-Liye, berulang-ulang. Bagaimana Tegar melewatkan malam-malamnya
di sebuah kamar kontrakkan di ibu kota. Sesak oleh masa lalu. Sesak oleh
kesempatan yang tak sempat ia raih. Sesak oleh dua bulan Nathan yang setara dengan dua puluh tahun miliknya!
Lima tahun berlalu.
Tanpa maksud apa-apa, Tegar tak sengaja menghubungi Oma, ibu Rosie. Oma adalah
satu-satunya orang yang mampu ‘membaca’ perasaan Tegar. Oma pulalah orang yang
memberitahu Rosie akan perasaan Tegar sesaat sebelum acara pernikahannya dengan
Nathan. Acara pernikahan yang ditunda enam bulan untuk memastikan Tegar (akan)
kembali. Namun Tegar kembali lima tahun kemudian, ketika Rosie telah sempurna
menjadi ibu dari empat kuntum bunga yang cantik; ketika ia hadir dengan
pemahaman cinta yang baru dan berbeda!
Lima tahun adalah waktu
yang cukup bagi keluarga kecil itu untuk menghadirkan empat kuntum bunga yang
cantik : Anggrek, Sakura, Jasmine, dan Lili. Ya, anak-anak Rosie dan Nathan.
Benar-benar keluarga yang bahagia. (Walau awalnya Rosie lebih mencintai Tegar
dibandingkan Nathan, sejak Oma menceritakan semburat perasaan Tegar dihari
pernikahan itu). Dan lima menit kejadian di Jimbaran, Bali, meluluhlantakkan
semuanya. Bom di sebuah kafe di Jimbaran Bali, yang merenggut nyawa Nathan,
sempurna meluluhlantahkan kepingan kebahagiaan keluarga kecil itu, dan
memanggil Tegar kembali hadir dalam kehidupan Rosie, walau dengan pemahaman
cinta yang baru dan berbeda.
Sepeninggal Nathan, Rosie
mengalami depresi berat dan harus dirawat di sebuah shelter (semacam balai terapi mental) di Denpasar. Dua tahun Rosie
menjalani masa-masa sulit, masa-masa pemulihan dari trauma dan depresi berat.
Dan dua tahun itu pulalah, Tegar menjadi paman, ayah, ibu, sahabat, dan semua
profesi yang ia bisa lakoni bagi anak-anak Rosie. Ia memutuskan untuk menunda
pernikahannya dengan Sekar, gadis cantik yang ia kenal di ibu kota, dan
meninggalkan pekerjaannya di ibu kota untuk merawat ke empat anak-anak Rosie
dan Nathan. Bukankah itu sebuah bukti cinta yang tak terbantah? Bagaimana bisa
seseorang yang menyaksikan cintanya direbut sahabatnya sendiri dan ia pergi
dengan hati yang tercabik-cabik, lima tahun kemudian, saat lukanya belum
sempurna sembuh, ia harus kembali untuk merawat anak orang yang merebut cinta
itu; mengambil kesempatan darinya?
Tegar
berkelit bahwa ia hadir dengan pemahaman cinta yang baru dan berbeda.
Dua tahun, selama Rosie
menjalani pengobatan di shelter, Tegar mengambil alih bisnis resor di Gili
Trawangan, dan menjelma Om bagi
Anggrek, Uncle bagi Sakura, dan Paman bagi Jasmine. Lili belum bisa
bicara. Jadi gadis kecil itu belum tahu akan memanggil Tegar dengan sebutan apa
(bukan Om, Uncle, ataupun Paman). Selama rentang waktu itu, Tegar menjadi
tumpuan anak-anak Rosie : mengantar mereka sekolah, menemani makan, mendongeng
sebelum tidur, mengambilkan rapor, dll. Dan dua tahun adalah waktu yang lebih
dari cukup bagi anak-anak itu untuk mencintai Tegar melebihi apa pun!
Sepanjang proses itu
pula, Tegar terkadang teringat akan masa-masa kecilnya bersama Rosie. Masa-masa
yang ia ingini tuk dilewati bersama Rosie sepanjang hidupnya. Masa-masa yang
tak pernah ia dapatkan, atas nama ‘kesempatan’ yang lepas!
Jikalau ingin melihat
cinta yang benar-benar tulus dan bening, maka lihatlah dalam mata anak-anak.
Itulah yang dialami Tegar. Setelah menjalani perawatan dua tahun, Rosie
akhirnya dinyatakan sembuh dan dibolehkan pulang ke Gili Trawangan. Kabar baik
sekaligus kabar buruk. Baik karena Rosie akan kembali berkumpul dengan
anak-anaknya. Buruk karena setelah Rosie kembali, itu artinya Tegar harus
pulang ke Jakarta, melanjutkan janji kehidupan baru bersama Sekar, gadis yang
sangat mencintainya. Dan cinta putih itu diperlihatkan anak-anak Rosie ketika
Tegar mengutarakan niat kepulangannya ke Jakarta. Sakura merajuk dan menangis
di kamarnya, semalaman. Jasmine juga. Lili yang belum juga bisa bicara
ikut-ikutan bersungut-sungut, tidak merelakan kepergian Paman Tegarnya. Hanya
Anggrek, si sulung, yang mulai memahami kondisi itu, dan mau ‘berdamai’ dengan
keadaan.
***
Bagaimanakah kisah selanjutnya? Apakah Tegar tetap memutuskan meninggalkan Rosie dan keempat
anak-anaknya ke Jakarta; melanjutkan janji kehidupan baru bersama Sekar? Apakah
akhirnya ‘kesempatan’ itu berpihak pada perasaan yang dipendam Tegar selama dua
puluh tahun? Apakah Anggrek, Sakura, Jasmine, dan Lili masih memanggil Tegar
dengan panggilan Om, Uncle, Paman, ataukah Papa
Tegar?
Ah, kawan; jikalau
punya sedikit waktu luang, maka bacalah novel ini. Cerita sederhana, namun akan
membuatmu hanyut terbawa suasana. Saya pun ikut merasakan malam-malam yang
dilalui Tegar. Malam dengan mimpi-mimpi yang menyesakkan; malam-malam panjang dengan
gerakan tubuh resah, kerinduan, dan helaan napas tertahan. Kita juga akan
belajar tentang makna cinta dan kesempatan dengan pemahaman yang baru dan
berbeda!
Selamat membaca!
Bima, 2 Januari 2013/14.30-16.10
Note :
Di sampul belakang
buku, kau akan temukan tulisan ini :
Sebenarnya,
apakah itu perasaan? Keinginan? Rasa memiliki? Rasa sakit, gelisah, sesak,
tidak bisa tidur, kerinduan, kebencian? Bukankah dengan berlalunya waktu
semuanya seperti gelas kosong yang berdebu, begitu-begitu saja, tidak istimewa.
Malah lucu serta gemas saat dikenang.
Sebenarnya,
apakah pengorbanan memiliki harga dan batasan? Atau priceless, tidak terbeli
dengan uang, karena hanya kita lakukan untuk sesuatu yang amat spesial di waktu
yang juga spesial? Atau boleh jadi gratis, karena kita lakukan saja, dan selalu
menyenangkan untuk dilakukan berkali-kali.
Sebenarnya,
siapakah yang selalu pantas kita sayangi?
Sebenarnya,
apakah itu arti 'kesempatan'? Apakah itu makna 'keputusan'?
Bagaimana
mungkin kita terkadang menyesal karena sebuah 'keputusan' atas sepucuk
'kesempatan'?
Sebenarnya,
dalam hidup ini, ada banyak sekali pertanyaan tentang perasaan yang tidak
pernah terjawab. Sayangnya, novel ini juga tidak bisa memberikan jawaban pasti
atas pertanyaan-pertanyaan itu. Novel ini ditulis untuk menyediakan pengertian
yang berbeda, melalui sebuah kisah di pantai yang elok. Semoga setelah
membacanya, kita akan memiliki satu ruang kecil yang baru di hati, mari kita
sebut dengan kamar 'pemahaman yang baru'.
Keren kan Bang Tere? :)