Syarif Husni's Greeting


Minggu, 30 Januari 2011

Satu Isyarat Cinta

“Dek, kuingin engkau jadi akhwatku. Bilakah suatu saat nanti, engkau berkenan, maka Mas mohon berilah sebuah isyarat…”
***
Namaku Aida Zahratul Aini. Biasa dipanggil Aini. Aku terlahir sebagai wanita yang [mungkin] paling beruntung di dunia ini. Aku dianugerahi fisik yang sempurna. Hampir setiap teman laki-lakiku akan memuji kecantikanku.
“Aini, maukah kau jadi kekasih hatiku?” tanya Bayu, seniorku di kampus, lewat pesan singkat di handphone-ku.


“Be my valentine…” tulis Agus di sebuah kartu valentine yang dikirimnya kepadaku januari lalu.
“Ini hatiku buat Aini..” ucap kak Ardi, ketua unit kegiatan mahasiswa tempat aku bernaung, blak-blakkan ketika ulang tahunku yang ke dua puluh.
Dan masih banyak puja-puji lain dari para cowok untukku. Dan semuanya itu membuat aku merasa bahwa aku adalah satu-satunya gadis tercantik di kampusku waktu itu.
Akhirnya, walaupun begitu banyak cowok yang menggilaiku, hatiku kemudian aku labuhkan pada sosok yang begitu aku cintai. Ia adalah Rangga. Cowok ganteng dan juga tajir di kampusku. Dan bulan ini, usia hubungan kami akan memasuki bulan ke tujuh. Sungguh aku sangat menyayangi Rangga melebihi siapapun!. Bahkan kami pun saling berjanji untuk tetap bersama, sehidup semati..
Akan tetapi, harapan-harapanku untuk hidup bersama Rangga akhirnya harus pupus pada malam itu. Ya, malam di mana aku diseret oleh kedua orang tuaku kembali ke zaman Siti Nurbaya : zaman perjodohan!.
“Aini, usiamu sekarang sudah dua puluh satu. Saatnya engkau menikah. Tama, putra pak Ahmad, sepertinya cocok untukmu..”
Mendengar itu, tanpa pikir panjang, aku menolak dengan tegas :
“Aini gak mau yah. Aini sudah punya calon suami, dan Aini gak mau dijodoh-jodohkan!”. Kataku sambil meninggalkan Ayah.
“Aini….pokoknya besok keluarga pak Ahmad akan datang, jangan bikin malu keluarga” teriak Ayah. Dan malam itu menjadi malam yang paling mengerikan buatku!.
***
Ardiansyah Pratama, ST adalah nama suamiku. Putra pertama pak Ahmad, kenalan Ayahku. Sungguh, sebelumnya aku tak pernah mengenalnya. Namun, orang-orang seperti Mas Tama sering aku lihat di kampusku. Lembaga Dakwah Kampus adalah ranah perjuangan mereka. Dan Mas Tama adalah bagian darinya.
***
Kini, setelah enam bulan usia pernikahan kami, semuanya berjalan baik-baik saja. Mas Tama mengurus bisnisnya, dan sesekali mengisi pengajian ibu-ibu di masjid, sedangkan aku mengurus rumah, memasak, dah hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga lainnya. Walaupun demikian, aku merasa belum sempurna menjadi seorang istri, karena hingga saat ini Mas Tama belum pernah menyentuhku!. Pernah suatu ketika aku tanyakan itu, dan Mas Tama menjawab
“Dek, Mas yakin adek tidak pernah mencintai Mas. Adek hanya menuruti kemauan orang tua adek untuk menikah dengan Mas, orang yang sama sekali tidak adek cintai. Tetapi, Mas akan berusaha untuk menjadi suami terbaik buat adek. Bilakah suatu saat nanti, rasa cinta itu tumbuh untuk Mas, maka Mas mohon berilah sebuah isyarat…”
Dan kini, rasa itu telah tumbuh, sungguh. Ia mekar begitu indahnya di relungku. Sungguh aku mencintainya. Aku mencintai kesederhanaannya. Aku mencintai tutur katanya. Aku mencintai penghormatannya terhadap wanita. Aku mencintainya seutuhnya.
Dan ketika pintu depan terbuka, sosok Mas Tama muncul. Tanpa sadar aku berlari menghampirinya. Memeluknya erat.
“Mas, adek pengen jadi akhwatnya Mas, selamanya…”
Dan kurasakan sebuah kecupan menyapa keningku.



Lombok, 160111
500 kata dengan judul, tidak termasuk note.
Note :
ikhwan : laki-laki (arab), biasa dipakai dikalangan aktivis/organisasi keislaman.
akhwat : perempuan (arab). Di Indonesia, maknanya mengalami penyempitan hanya untuk mereka yang mengenakan gamis dan aktif di organisasi keislaman.
tajir : kaya raya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar