Syarif Husni's Greeting


Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 06 Juli 2013

Rinjani, Mereka, dan Keanehanmu


Pagi itu, Rinjani kokoh dihadapku
Anak-anak bercericit menyeruput dingin dengan sepiring nasi goreng
Lahapku terhentak akan gaibmu
Ke mana?
Tak laparkah?
Ingin rasanya mencoba melempar tanya pada mereka
Namun aku tahu itu tak ‘kan berarti
Karena sedari awal sepenuhnya aku memahami mereka mengabaikanmu
Maka barisan pesan singkat itulah wujud peduliku
Berharap kau baca dan bergegas berlari dari sepimu

Menunggu lama, akhirnya kau bersedia bersila didepan piringmu
Dalam diam hatiku memintamu untuk melahapnya walau ku tahu kau sedang tak berselera
Untuk kali itu saja
Mengganjal lambungmu yang sedari kemarin tak terisi penuh.
Kau, rupanya senang sekali berkawan lapar?

Pada gigil malam Crater Rim Sembalun, kembali kau biarkan lambungmu kosong
Sepiring mie instan pun tak sudi kau sedekahkan untuk lambungmu
Kau aneh! Padahal kau lebih memahami tentang takaran kalori yang kau butuhkan untuk melewati bukit dan tebing terjal Rinjani

Dan ketika beberapa meter membersamaimu menuju Crater Rim Senaru
Dapat aku rasakan langkahmu yang lelah
Aku tangkap dengan jelas ragamu yang hampir roboh
[Dan barangkali lambungmu yang masih kosong]
Ingin rasanya aku berteriak ‘Hei, istirahat dulu dan nikmati bekalmu!’
Namun celoteh tanpa hentimu membuyarkan semuanya.

Ah, kau tahu, sepanjang Lembah Rinjani, dua Crater Rim dan Segara Anak
Tak henti mereka membicarakanmu, keanehan-keanehanmu
Sementara aku lebih memilih mendengar dan merubah diriku menjadi kau saja
Agar omongan-omongan itu cukup aku saja yang menikmatinya
Agar celotehmu tak terganggu, dan kau nikmati perjalananmu tanpa rintang!

06/07/2013

Senin, 27 Mei 2013

Kala Rindu Berbunga


Kepadamu pemilik bunga-bunga rindu : 
Kita tak kan pernah tahu apa yang mereka mau.  Kita hanya tahu apa yang kita mau, sembari menghiba yang DIA mau. Terkadang, ada banyak hal yang tak bisa dimengerti dan dipahami. Tak perlu bertanya tentang keanehan, karena ia hanya persepsi. Dan persepsi tidak perlu dihayati lebih dalam, karena sejatinya ia lahir dari pemaknaan semu nan dangkal. Didepan sana, ada mimpi-mimpi, yang saban hari mampir dalam lelap kita. Dan tahukah kau, mimpi itu saat ini memanggilmu kembali?!

Kamis, 07 April 2011

Murka Seorang Sahabat

Siang ini, disaksikan mentari
Aku tegaskan padamu, sobat
Bahwa aku bukanlah gundikmu!

Tak perlu suara lantangmu
Atau urat lehermu yang mengerang
Juga ancaman gelapmu
Karena aku tidak tuli, sobat
Bahkan dengan isi batok kepalamu sekalipun!

Rabu, 06 April 2011

Sajak Orator

Pagi ini…
Ingin kupekikkan jerit hati ini
Kepada mereka yang duduk di kursi empuk di atas gedung sana
Kepada mereka yang mengenakan seragam kepahlawanan tetapi selalu kalah perang
Kepada mereka yang dihadiahi korek kuping besar oleh anak negeri
Kepada mereka yang matanya selalu terlelap dan mulut yang hanya bisa bilang “setuju”

Selasa, 05 April 2011

Mom


When I was a child, I cried a lot
Coz I knew I was nothing
But slowly I felt
I was everything for you
In your breathe
In your heart

Sekarat

Tertatih aku menggapaimu
Berlari
Tersandung
Jatuh
Berdarah-darah
Dan sakarat!

Kenapakah hati tak jua menyerah?

Dengan segenap kuat yang ada
Ku kembali berlari
Tersandung
Jatuh
Berdarah-darah
Dan sekarat!

Adakah kau di sana mengerti
Bahwa berdarah-darah aku mempertahankannya!



(Penghujung 2008)

Minggu, 03 April 2011

Sajak Sesal



Haruskah begini?
Tak ada ruang untuk bicara
Tentang rindu yang mati
Diujung keris egoku dan egomu
Tentang mimpi yang pupus
Dibawah pelangi yang tak kunjung hujan

Haruskah kita rubuhkan?
Gubuk mimpi yang hampir sempurna kita bangun
Dengan atap daun rindu dan lantai yang kita sulam dari butir-butir setia
Tidakkah kau ingat betapa kita memisahkan kerikil-kerikil kecil dari pasir komitmen yang kita ciduk di kedalaman sungai hati?
“Ini akan merusak bangunan rumah kita. Ia harus dibuang!” katamu.

Kemudian kita melukis bersama
tentang syurga yang ‘nak kita pinjam dan kita bawa pulang

oh seandainya pagi tidak terlalu dini menyapa
bukankah kita masih bisa melanjutkan mimpi?
Mimpi yang pupus itu
Dibawah pelangi yang tak pernah kunjung hujan


Lombok, 030411 pkl 19.20

Sabtu, 25 Desember 2010

"Untuk Sebuah Nama"


 Seekor burung terluka sayapnya, patah..
Karena panah si durjana
Setitik cahaya mentari, kelam..
Karena mendung menerpa
Sehelai daun jatuh, terkapar..
Karena tangkai yang rapuh
Sebongkah es mencair di sombongnya kutub, luluh..
Karena panas yang merayu



Akan tetapi
Sebentuk rasa yang kupunya,
Tak akan pernah mati..
Walau beribu panah menancap di setiap sudutnya, mengalirkan bau amis darah luka
Ia akan tetap hidup walau tertatih dan berdarah..
Untuk sebuah nama, untuk sebuah hati..

(SH, Disebuah sudut, kala namanya memenuhi ruang rinduku, july 14,2010 pkl 09:43 pagi)


Rabu, 22 Desember 2010

Sarapanku Hari Ini adalah Wajahmu



Sarapanku pagi ini adalah wajahmu
Yang meringis sakit disana
Meronta lemah dalam payahmu

Oh teganya mereka
Bawamu dalam luka tak terperi
Gempita kegelapan mistik
Berbilang hari, bulan, bahkan tahun sudah

“Panggilkan ustadz Arif ke sini” rengekmu
Dalam baring ranjang kutukanmu
Bagai kayu lapuk menyerah pada anai-anai
Digerogoti. Hingga ke putih tulangmu

Aku bahkan tak mampu merasa
Ketika jemariku kau genggam dalam tangis
Ragamu bagai kapas, kau mati rasa!

Sarapanku pagi ini adalah wajahmu
Yang memaksa senyum ketika pamit kuucap
Kau memang tak mampu berkata
Tapi matamu bicara
Memohon : tolong sembuhkan aku!

Oh teganya mereka
Berkawan ifrit merasuk mimpimu
Menghadirkan luka dalam senyummu
Engkau hanya ruh, tiada raga!

Sarapanku pagi ini adalah wajahmu
Yang meringis sakit disana
Meronta lemah dalam payahmu

Tuhan...
Tangannya yang lemah telah lama melambai-Mu
Dalam harap dan air mata

Tengoklah ia, walau hanya sejenak...

Sarapanku pagi ini adalah wajahmu
Lekas pulih, riak pantai merindumu!.


(Angkasa, Mataram, 22 Des 2010)
Dedicated to : Kak Nur. Semoga cepat sehat!.

Sabtu, 18 Desember 2010

Antara Aku, Kau, dan Bukavu




“Dah satu tahun….” Katamu.

“Gak apa-apa….” Jawabku.

Kupandangi Bukavu. Ada wajahmu disana.
Cuek malu-malu!.
Antara aku, kau, dan bukavu
Pada suatu siang.
Tanpa Hemingway. Tanpa Helvy.




Syarif Husni, Mataram, 18 Des 2010.

Rindu yang Berdarah


Di sini bersama
Bintang. Aku menanti.
Bersama rinai hujan
Dan desau angin
Serta kuncup rasa yang semakin
Merekah.

Entah berapa lama lagi, denting waktu terus kulumat
Untuk memelukmu dalam kasih
Menuai rindu yang kita tanam
Akasia tua dibawah tatap purnama

Bersama senja aku menanti
Dengan selaksa harap ingin bersua
Dan aku tidak mampu lagi melumat waktu

Tahukah kau bahwa rindu ini berdarah?


Syarif Husni, Mataram, 18 Des’ 2010