Syarif Husni's Greeting


Sabtu, 25 Desember 2010

"Untuk Sebuah Nama"


 Seekor burung terluka sayapnya, patah..
Karena panah si durjana
Setitik cahaya mentari, kelam..
Karena mendung menerpa
Sehelai daun jatuh, terkapar..
Karena tangkai yang rapuh
Sebongkah es mencair di sombongnya kutub, luluh..
Karena panas yang merayu



Akan tetapi
Sebentuk rasa yang kupunya,
Tak akan pernah mati..
Walau beribu panah menancap di setiap sudutnya, mengalirkan bau amis darah luka
Ia akan tetap hidup walau tertatih dan berdarah..
Untuk sebuah nama, untuk sebuah hati..

(SH, Disebuah sudut, kala namanya memenuhi ruang rinduku, july 14,2010 pkl 09:43 pagi)


Rabu, 22 Desember 2010

Sarapanku Hari Ini adalah Wajahmu



Sarapanku pagi ini adalah wajahmu
Yang meringis sakit disana
Meronta lemah dalam payahmu

Oh teganya mereka
Bawamu dalam luka tak terperi
Gempita kegelapan mistik
Berbilang hari, bulan, bahkan tahun sudah

“Panggilkan ustadz Arif ke sini” rengekmu
Dalam baring ranjang kutukanmu
Bagai kayu lapuk menyerah pada anai-anai
Digerogoti. Hingga ke putih tulangmu

Aku bahkan tak mampu merasa
Ketika jemariku kau genggam dalam tangis
Ragamu bagai kapas, kau mati rasa!

Sarapanku pagi ini adalah wajahmu
Yang memaksa senyum ketika pamit kuucap
Kau memang tak mampu berkata
Tapi matamu bicara
Memohon : tolong sembuhkan aku!

Oh teganya mereka
Berkawan ifrit merasuk mimpimu
Menghadirkan luka dalam senyummu
Engkau hanya ruh, tiada raga!

Sarapanku pagi ini adalah wajahmu
Yang meringis sakit disana
Meronta lemah dalam payahmu

Tuhan...
Tangannya yang lemah telah lama melambai-Mu
Dalam harap dan air mata

Tengoklah ia, walau hanya sejenak...

Sarapanku pagi ini adalah wajahmu
Lekas pulih, riak pantai merindumu!.


(Angkasa, Mataram, 22 Des 2010)
Dedicated to : Kak Nur. Semoga cepat sehat!.

Sabtu, 18 Desember 2010

Antara Aku, Kau, dan Bukavu




“Dah satu tahun….” Katamu.

“Gak apa-apa….” Jawabku.

Kupandangi Bukavu. Ada wajahmu disana.
Cuek malu-malu!.
Antara aku, kau, dan bukavu
Pada suatu siang.
Tanpa Hemingway. Tanpa Helvy.




Syarif Husni, Mataram, 18 Des 2010.

Rindu yang Berdarah


Di sini bersama
Bintang. Aku menanti.
Bersama rinai hujan
Dan desau angin
Serta kuncup rasa yang semakin
Merekah.

Entah berapa lama lagi, denting waktu terus kulumat
Untuk memelukmu dalam kasih
Menuai rindu yang kita tanam
Akasia tua dibawah tatap purnama

Bersama senja aku menanti
Dengan selaksa harap ingin bersua
Dan aku tidak mampu lagi melumat waktu

Tahukah kau bahwa rindu ini berdarah?


Syarif Husni, Mataram, 18 Des’ 2010

Minggu, 05 Desember 2010

BEKU



Dingin. Semua membeku. Tidak terkecuali dirinya. Darahnya terasa membeku. Tubuhnya menggigil. Pagi-pagi sekali hujan mengguyur deras dari langit, mematikan hampir semua aktivitas manusia, termasuk dirinya.
Ia memandang ke arah barang dagangannya pagi itu. Barang yang sedari subuh ia ambil di pasar tradisional di kampung seberang yang akan ia jual di kampungnya. Ia khawatir kalau hujan terus-terusan mengguyur bumi, maka barang dagangannya pagi itu sudah dapat dipastikan tidak akan laku terjual. Kalau demikian maka ia akan merugi. Ia akan membayar barang-barang itu dari kantongnya sendiri, kantong yang hampir tak pernah berisi!. Ya, darimana ia akan dapatkan rupiah dengan kondisinya yang seperti itu?.
Barang-barang dagangan itupun ia ambil dari pedagang pasar dengan modal kepercayaan saja. Ia kemudian menjual barang-barang itu di kampungnya, dan uang dari hasil penjualan itulah yang akan ia pakai untuk membayar barang-barang itu keesokkan harinya. Dan pagi itu pun hujan. Deras sekali!. Harapannya pupus. Untuk kesekian kalinya, ia memandangi barang dagangannya..

Satu jam sudah hujan mengguyur bumi. Dan tanda-tanda kalau hujan akan reda belum terbaca sama sekali. Hatinya semakin galau. Bayangan Ani, sulungnya yang merengek meminta agar sepatunya yang sudah robek diganti dengan yang baru menggelebat dalam pikirannya. Belum lagi, kekhawatiran akan barang-barang dagangannya yang kemungkinan tidak akan terjual habis pagi itu, kian menambah gurat-gurat tua di wajah cantiknya. Terkadang ia merasa hidup sungguh tak adil. Tuhan pun bahkan tak pernah berpihak padanya, sekalipun!

Atas Nama Cinta


Aku adalah sesosok jasad kaku, terbujur. Sekujur tubuhku penuh luka tusukkan belati!.


***

“Kabune-ku ba mada sa'e?? Dou matua mada wati loa-na ka ao. Wati loa-na ka ao ade ndai ma sama..1.”. Katamu sendu.

“Mai ta lao rai2??” ajakku.

“Londo iha???. Ando ta da bade ba ita tabe’a kaluarga mada. Mada dahu ade-ku di iha kai ba ndai pea re3”.

“De kabune-ku arie??? De sampe ake mpa ndai ro??4” tantangku.

Kekasihku terdiam. Merenung dalam derai air mata yang mulai membuncah. Sejenak ia memandangku. Menelisik pedih rasa yang yang harus dikubur hanya karena perbedaan status sosial.

“Kalau memang itu satu-satunya cara yang harus kita tempuh, mada siap sa'e..5”

Dan malam itu rembulan jadi saksi. Dua anak manusia menantang badai yang mereka ciptakan sendiri.