Syarif Husni's Greeting


Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Minggu, 08 Desember 2013

Tentang Dua Ribu Rupiah Kita



AKU MASIH MENUNGGUMU di bibir pantai ini, Senggigi. Pantai yang menjadi saksi kita. Pantai ini adalah satu-satunya tempat yang mampu membaca tatapan mata kita dan resah di tidur panjang kita. Angin senja dan semburat mentari di ufuk barat sana seakan ikut duduk bersamaku, menantimu. Bukankah kau pernah berujar bahwa kau mencintai angin senja ini dan semburat kuning mentari di ujung lautan seberang?
Lihatlah, batu-batu cadas hitam yang ditampar gelombang masih angkuh dan menunggu. Di tebing batu-batu itulah kau pernah memintaku untuk memotretmu. Hasil potretan itu yang melukis wajah dan senyummu masih tersimpan rapi dalam folder laptopku. Pada deretan batu-batu cadas itu pulalah kau percikkan air pada wajahku. Semilir angin menerbangkan ujung kerudungmu yang dengan gesit akan kau raih dan kau rapikan kembali. Di bibir pantai ini aku masih menunggu, adakah kau ‘kan datang?

Semburat mentari di ujung lautan seberang berubah jingga, pertanda ia mulai lelah menunggu. Seekor kepiting kecil lewat dan menyapaku “apa yang kau tunggu anak muda? Jika kau menanti seorang gadis yang kau potret di atas tebing cadas itu, maka dia tidak akan datang senja ini. Gadis itu telah menggadaikan ceritamu kepada tukang loak seharga dua ribu rupiah”. Hussshhh, sok tahu. Aku membentak makhluk kecil itu. Ia berlari ketakutan dan segera masuk ke liang-liang pasir pantai ini.
Benarkah kau telah menggadaikan senja ini kepada tukang loak seharga dua ribu rupiah? Bukankah dua ribu rupiah tidak bermakna apa-apa bagi tukang loak itu dan orang-orang di sekitarnya, namun bermakna besar bagi kita? Bukankah dua ribu rupiah yang telah mengikat hati kita menjadi satu? Dua ribu rupiah jugalah yang membawaku menyetubuhi angin senja yang menusuk ini? 

Minggu, 26 Juni 2011

Para Pewaris Penyakit Andrea part 1 : "Cinta adalah tumpukan pasir campur kerikil rasa kolam renang biru".


Tak kusangka, bercengkerama dengan Padang Bulan-nya Andrea Hirata telah menyadarkan aku akan satu hal. Bahwa cinta beda tipis dengan kegilaan!.

Andrea bercerita bagaimana dia tergila-gila pada sosok gadis Tionghoa anak pedagang Kelontong disudut pasar di Belitong sana. Cinta yang membuat Andrea melakukan hal-hal gila yang tak pernah mampir dibenaknya sebelum itu. Cinta yang menyeruak tiba-tiba ketika dia di minta untuk membeli kapur tulis di toko kelontong tua itu. Dan tanpa diduga-duga, laksana dipanah berkali-kali oleh cupid, Andrea dihantam oleh perasaan yang aneh ketika melihat tangan yang menyodorkan kotak kapur tulis dibalik loker toko kelontong itu. Tangan itu bukanlah tangan kekar dan keriput seperti biasanya. Tangan itu adalah tangan yang putih mulus dengan kuku-kuku yang bersih dan wangi. Seketika dada Andrea kecil dipenuhi bunga-bunga yang entah datangnya dari mana. Belakangan ia mengerti bahwa itulah cinta. Bahkan cinta pada bentuknya yang paling klasik : cinta pada pandangan pertama. Sejatinya, pada pandangan tangan pertama!.

Minggu, 24 April 2011

Ba’a


      Cerpen : Syarif Husni*)

IA termangu di kursi tua rumahnya. Raut mukanya seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Seakan ia sedang bermimpi. Di dalam mimpinya ia mendengar kata-kata itu diceritakan oleh seorang ina1 paruh baya. Tetapi, ketika matanya mengamati sekelilingnya, ia tersadar bahwa ia tidak sedang bermimpi. Pemandangan yang terpampang didepan matanya jelas adalah sebuah kenyataan. Pemandangan yang hampir sama sejak tiga tahun yang lalu. Sebuah ruang tamu rumah panggung sederhana dengan empat buah kursi plastik warna hijau tanpa meja, sebuah meja kayu besar, sebuah ranjang kayu, sebuah neon yang tergantung langsung dibawah genteng rumah karena rumah tersebut tidak memiliki plafon, beberapa poster dan kaligrafi mewarnai dinding rumah yang terbuat dari papan, serta tikar yang terbuat dari daun pandan tergelar dilantai rumah. Dari tempat duduknya, ia dapat langsung memandang isi kolong rumah tersebut melalui celah papan lantainya.
Ba’a Ranggae..” suara itu kembali menyadarkannya.
“Ruma Tala na wa’ura ka eda sama mena wua rawi manusia ma mbai2..”.
Entah kenapa ia begitu risih mendengar kata itu. Bulu kuduknya merinding mendengarnya. Kata itu memiliki kekuatan magis yang luar biasa. Apalagi kata itu diucapkan oleh orang yang sangat dia hormati dan dia keramatkan, Ina. Ia merasakan semua persendiannya hancur dan darahnya memancar keluar begitu kata itu keluar dari mulut Ina-nya. Tubuhnya gemetar. Bibirnya pucat mengucapkan kembali kata itu. Lirih. Ba’a!. Oh, betapa ngerinya!.

Rabu, 16 Maret 2011

Aku, Kau, dan Hujan

Hujan selalu membuatku senang. Seperti sore ini. Karena hanya hujan yang mampu menghadirkanmu di sisiku, Adrian..

Kau akan datang bersama hujan. Menghampiriku yang sedang sendiri di jendela kamarku. Perlahan kau akan meraih tanganku dan mengecup pelan keningku. Mengusir semua luka dan perihku.

Namun sore ini kau belum jua datang. Padahal aku telah menunggumu lama, bersama pelangi. Kenapakah? Tidak sayang-kah kau padaku?.

“Kita tidak bisa bersama Laura. Dimensi kita beda” bisikmu di hujan kemarin dan hujan kemarin-kemarinnya lagi. Selalu sama.

“Tetapi aku dapat menyentuhmu. Merasakanmu..”. Dan sejak hujan itu kau menghilang tanpa jejak.


Aku masih di sini, Adrian, menanti bersama hujan!.


Lombok, 120311

100 kata pas, tidak termasuk judul.
(Kisah ini diikutkan pada lomba FF 100 kata Long Distance Love (LDL) Mayasmara)

Minggu, 30 Januari 2011

Satu Isyarat Cinta

“Dek, kuingin engkau jadi akhwatku. Bilakah suatu saat nanti, engkau berkenan, maka Mas mohon berilah sebuah isyarat…”
***
Namaku Aida Zahratul Aini. Biasa dipanggil Aini. Aku terlahir sebagai wanita yang [mungkin] paling beruntung di dunia ini. Aku dianugerahi fisik yang sempurna. Hampir setiap teman laki-lakiku akan memuji kecantikanku.
“Aini, maukah kau jadi kekasih hatiku?” tanya Bayu, seniorku di kampus, lewat pesan singkat di handphone-ku.

Minggu, 05 Desember 2010

BEKU



Dingin. Semua membeku. Tidak terkecuali dirinya. Darahnya terasa membeku. Tubuhnya menggigil. Pagi-pagi sekali hujan mengguyur deras dari langit, mematikan hampir semua aktivitas manusia, termasuk dirinya.
Ia memandang ke arah barang dagangannya pagi itu. Barang yang sedari subuh ia ambil di pasar tradisional di kampung seberang yang akan ia jual di kampungnya. Ia khawatir kalau hujan terus-terusan mengguyur bumi, maka barang dagangannya pagi itu sudah dapat dipastikan tidak akan laku terjual. Kalau demikian maka ia akan merugi. Ia akan membayar barang-barang itu dari kantongnya sendiri, kantong yang hampir tak pernah berisi!. Ya, darimana ia akan dapatkan rupiah dengan kondisinya yang seperti itu?.
Barang-barang dagangan itupun ia ambil dari pedagang pasar dengan modal kepercayaan saja. Ia kemudian menjual barang-barang itu di kampungnya, dan uang dari hasil penjualan itulah yang akan ia pakai untuk membayar barang-barang itu keesokkan harinya. Dan pagi itu pun hujan. Deras sekali!. Harapannya pupus. Untuk kesekian kalinya, ia memandangi barang dagangannya..

Satu jam sudah hujan mengguyur bumi. Dan tanda-tanda kalau hujan akan reda belum terbaca sama sekali. Hatinya semakin galau. Bayangan Ani, sulungnya yang merengek meminta agar sepatunya yang sudah robek diganti dengan yang baru menggelebat dalam pikirannya. Belum lagi, kekhawatiran akan barang-barang dagangannya yang kemungkinan tidak akan terjual habis pagi itu, kian menambah gurat-gurat tua di wajah cantiknya. Terkadang ia merasa hidup sungguh tak adil. Tuhan pun bahkan tak pernah berpihak padanya, sekalipun!

Atas Nama Cinta


Aku adalah sesosok jasad kaku, terbujur. Sekujur tubuhku penuh luka tusukkan belati!.


***

“Kabune-ku ba mada sa'e?? Dou matua mada wati loa-na ka ao. Wati loa-na ka ao ade ndai ma sama..1.”. Katamu sendu.

“Mai ta lao rai2??” ajakku.

“Londo iha???. Ando ta da bade ba ita tabe’a kaluarga mada. Mada dahu ade-ku di iha kai ba ndai pea re3”.

“De kabune-ku arie??? De sampe ake mpa ndai ro??4” tantangku.

Kekasihku terdiam. Merenung dalam derai air mata yang mulai membuncah. Sejenak ia memandangku. Menelisik pedih rasa yang yang harus dikubur hanya karena perbedaan status sosial.

“Kalau memang itu satu-satunya cara yang harus kita tempuh, mada siap sa'e..5”

Dan malam itu rembulan jadi saksi. Dua anak manusia menantang badai yang mereka ciptakan sendiri.