AKU MASIH MENUNGGUMU
di bibir pantai ini, Senggigi. Pantai yang menjadi saksi kita. Pantai ini
adalah satu-satunya tempat yang mampu membaca tatapan mata kita dan resah di
tidur panjang kita. Angin senja dan semburat mentari di ufuk barat sana seakan
ikut duduk bersamaku, menantimu. Bukankah kau pernah berujar bahwa kau
mencintai angin senja ini dan semburat kuning mentari di ujung lautan seberang?
Lihatlah,
batu-batu cadas hitam yang ditampar gelombang masih angkuh dan menunggu. Di
tebing batu-batu itulah kau pernah memintaku untuk memotretmu. Hasil potretan
itu yang melukis wajah dan senyummu masih tersimpan rapi dalam folder laptopku.
Pada deretan batu-batu cadas itu pulalah kau percikkan air pada wajahku.
Semilir angin menerbangkan ujung kerudungmu yang dengan gesit akan kau raih dan
kau rapikan kembali. Di bibir pantai ini aku masih menunggu, adakah kau ‘kan datang?
Semburat
mentari di ujung lautan seberang berubah jingga, pertanda ia mulai lelah
menunggu. Seekor kepiting kecil lewat dan menyapaku “apa yang kau tunggu anak
muda? Jika kau menanti seorang gadis yang kau potret di atas tebing cadas itu,
maka dia tidak akan datang senja ini. Gadis itu telah menggadaikan ceritamu
kepada tukang loak seharga dua ribu rupiah”. Hussshhh, sok tahu. Aku membentak
makhluk kecil itu. Ia berlari ketakutan dan segera masuk ke liang-liang pasir
pantai ini.
Benarkah
kau telah menggadaikan senja ini kepada tukang loak seharga dua ribu rupiah?
Bukankah dua ribu rupiah tidak bermakna apa-apa bagi tukang loak itu dan
orang-orang di sekitarnya, namun bermakna besar bagi kita? Bukankah dua ribu
rupiah yang telah mengikat hati kita menjadi satu? Dua ribu rupiah jugalah yang
membawaku menyetubuhi angin senja yang menusuk ini?
Haruskah
aku percaya pada kepiting kecil itu?
Masihkah
kau ingat ketika pertama kali dua ribu rupiah mengikat kita?
Pagi
menjelang siang itu, aku harus meninggalkan kantor karena ada urusan yang harus
aku selesaikan di kampus tempat kita kuliah dahulu. Aku meninggalkan beberapa pekerjaan
yang belum kelar, dan kuminta kau tuk menggantikanku melanjutkan pekerjaan itu.
“Dua ribu rupiah!” bisikmu sebagai kompensasi pengalihan tugas itu. Aku hanya
menjawab dengan satu kata “Siiippp!” saja sebagai tanda setuju. Itulah awalnya
hingga kemudian dua ribu rupiah itu melahirkan dua ribu rupiah-dua ribu rupiah
lainnya yang menggoreskan kisah kita. Mereka serupa anak-anak nan cantik dan
imut-imut yang kau lahirkan dari rahimmu, menjadikan kita sepasang orang tua
yang paling bahagia di dunia.
Jikalau
dua ribu rupiah itu adalah anak yang kau lahirkan, maka anak dua ribu rupiah
pertama kita lahir ketika beberapa hari kemudian aku kembali menitipkan tugasku
kepadamu. Aku keluar beberapa puluh menit untuk menyelesaikan urusan kecil di
luar kantor kemudian segera kembali lagi ke kantor kita. Dan belum sempat
bibirku berucap “Thanks!”, kau telah
lebih dahulu menagih dua ribu rupiah itu. Traktir cilok – pentolan bakso berkuah – seharga dua ribu rupiah. Dan seperti
biasa, itu adalah dua ribu rupiah yang cantik dan imut-imut.
Ah,
bukankah dua ribu rupiah kita memang selalu cantik?
Aku
masih terduduk di pinggir pantai ini. Angin senja semakin dingin, memaksaku
merapatkan jaket yang aku pakai. Mentari di seberang lautan kian jingga. Ombak
mulai lelah menampar batu-batu cadas. Sementara batu-batu cadas itu merintih
memanggilmu untuk menaiki mereka dan aku akan memotretmu dibawah lukisan
silhoet senja. Namun kau belum jua datang, padahal pada pertemuan-pertemuan
kita sebelumnya, kaulah yang tersering menungguku di sini, bersama senyummu,
dan ketika aku menemuimu dengan sedikit terlambat, dengan raut ngambek dan nada sinis kau akan
memintaku mentraktir jagung bakar dua ribu rupiah sebagai kompensasi. Dan tahukah
kau, senja ini, Pak Tua penjual jagung bakar itupun telah mengayuh sepeda
ontelnya kembali ke rumah?
Bersama
senja yang manaungi Senggigi nan indah, aku kenang semuanya tentangmu. Beberapa
bulan setelah pertama kali kau menagih dua ribu rupiah dariku, kau jadi sering
menagih dua ribu rupiah- dua ribu rupiah lainnya. Laksana seseorang yang
kesurupan atau sakaw oleh
obat-obatan, kau menagihnya setiap saat. Bahkan ketika aku ke kamar kecilpun ‘tuk
beberapa menit saja dan meninggalkan pekerjaanku, kau akan menagih dua ribu
rupiah, upah karena telah menjaga tugas yang aku tinggalkan. Bukankah itu
konyol? Bukankah “menjaga” dan “menyelesaikan” adalah dua hal yang berbeda?
Lalu kenapa harus meminta upah? Belakangan aku mengerti bahwa kau telah begitu
sangat menikmati menjadi ibu dari dua ribu rupiah – dua ribu rupiah yang kau
lahirkan. Kau begitu mencintai tatapan mata dan simpul senyum kita ketika
‘transaksi’ dua ribu rupiah kita lakoni. Engkau benar-benar Ibu yang baik!
Bulan-bulan
berikutnya – ingatanku masih sangat rapi
membingkainya - kau begitu subur melahirkan dua ribu rupiah-dua ribu rupiah
lainnya, dan semuanya cantik-cantik, dan imut-imut. Kau begitu mencintai
mereka, begitupun aku. Kita menjelma dua orang tua yang saling mengisi satu
sama lain. Kau melahirkan mereka, dua ribu rupiah kita, dan aku memandikan, menaburkan
bedak, menyisir rambut, memakaikan pita dan bando dirambutnya, menjadikan
anak-anak yang kau lahirkan nampak cantik dan imut-imut.
Lalu,
pada senja kali ini, setelah beberapa hari kau tiba-tiba mandul, akankah kau
bunuh semua anak-anak kita?!
Dan
tahukah kau betapa aku kesepian ketika menyadari kemandulanmu? Beruntung,
anak-anak yang telah kau lahirkan dulu datang mengerubungi dan menghiburku.
Mereka bercerita tentangmu, tentang kebaikan-kebaikanmu sebagai seorang Ibu,
tentang lembut sentuhan dan hangat senyummu. Dan semenjak kau mandul, ada jarak
yang tercipta di halaman rumah kita. Pada awalnya hanya sehasta saja, namun
kemudian menjelma ribuan mil jauhnya. Akankah kau sadar akan hal itu? Lalu
bagaimanakah nasib kisah kita? Akankah tatapan mata kita, gurauan-gurauan kita
disela-sela jam kerja, tagihan-tagihan dua ribu rupiah yang disertai simpul
senyum yang saling bergenggaman tangan, berlalu tanpa makna?!
Tidakkah
kau paham bahwa semua kegilaan ini bukanlah perkara remeh temeh?
Aku
memang belum sepenuhnya memahami hubungan apa yang sedang kita lakoni, karena
tak sepotongpun kata dengan lima huruf itu keluar dari mulut kita. Tidak ada
sesuatu yang pasti yang bisa dibaca dari lakon kita, kecuali kita yang
sama-sama mengerti bahwa semua ini takperlu dipertanyakan. Yang kita tahu bahwa
kita sama-sama menikmati senja, mencuri sedikit waktu sepulang kantor untuk
sekedar memandangi matahari yang tenggelam di balik lautan seberang sana,
menikmati sapaan lembut angin senja, sesekali memotret batu-batu cadas dengan
silhoetmu di atasnya, menikmati jagung bakar di atas hamparan pasir, dan pulang
ketika mentari sempurna ditelan malam.
Bulan
lalu, ketika aku harus meninggalkan kantor untuk beberapa hari keluar kota,
melalui pesan singkat yang aku ketik kala dingin menyelimuti kapal
penyeberangan, kuminta kau meng-handle
sementara pekerjaanku. Kau menjawabnya dengan satu kata “Siiipppp” dengan
tambahan “Hati-hati di jalan. Semoga
sukses di sana. Terima kasih telah mewarnai hari-hariku dan melukis senyumku
dengan dua ribu rupiahmu..” Duh, laki-laki waras dan normal manakah yang
menganggap kalimat itu kalimat biasa-biasa saja? Dan barangkali aku terlalu
tolol menganggap itu sebagai isyarat bahwa kita menyimpan rasa yang sama. Entah
apalah namanya itu, jikalau kita enggan menyebutnya cinta. Sebab itulah, tak
pernah satu katapun yang menyinggung kelima huruf itu terlontar dari bibirku,
karena aku percaya bahwa kita merasakannya, dan kita tak perlu kata-kata untuk membuktikannya.
Bukankah
segelintir orang berpendapat bahwa cinta memang tak perlu kata-kata? Benarkah
seperti itu? Belakangan, aku meragukannya. Nenekku dahulu pernah berwasiat
bahwa sesuatu yang telah memeluk hati, hendaklah diikrarkan bibir, dan
disempurnakan laku. Begitupun ketika cinta telah menyapa bilik hati, maka harus
diikrarkan dan ditunjukkan melalui bahasa perbuatan. Dan aku menangkap cinta
itu dari tatapan mata kita, dari simpul senyum yang saling kita lempar, dari
dua ribu rupiah-dua ribu rupiah kita yang kau tagih setiap kali aku meminta
bantuanmu, namun tak pernah satu katapun kita mengikrarkannya. Masihkah itu
bernama cinta? Kalau bukan, lalu kita akan menyebutnya apa?!
Tahukah
kau bahwa di sini angin semakin dingin? Nyiur yang tadi sore melambaikan
tangannya pada pengunjung Senggigi kini menggigil kedinginan. Anak-anak yang
mencandai ombak pun telah kembali rehat. Esok pagi atau sore, mereka akan
kembali datang untuk menyapa jejak-jejak yang mereka tinggalkan sore ini. Dan
bicara tentang jejak, kau pun tak kalah dengan mereka. Di pantai ini, disekitar
tempatku memandang laut, jejakmu merayu untuk dinapak tilasi kembali.
Seorang
nelayan yang hendak menyiapkan perlengkapan melautnya tengah malam nanti
menegurku : “Teman gadismu mana? Sudah seminggu ini, aku tidak melihatnya
bersamamu? Sakit?” Aku hanya memandanginya sejenak. Senyum yang kugelar
untuknya, aku rapikan kembali.
“Kau
tahu penyu kan?” katanya mendekati tempat dudukku.
“Sesaat
setelah ia keluar dari cangkangnya, ia akan berusaha meraih air. Sendirian ia
akan berjuang melewati pasir-pasir ini menuju laut. Ia akan mengarungi luas
samudera hingga ke tempat yang sangat jauh. Namun, kelak ketika sudah tiba
masanya, ia akan kembali lagi ke sini, walau harus menempuh perjalanan yang
saaaangat jauh pula..” Ia berhenti sejenak seolah mengerti setiap desahan
nafasku sore ini.
“Kau tahu apa maknanya?”
Aku
hanya menggeleng.
“Layaknya
penyu tadi, ia akan kembali, jika ia adalah takdirmu..”
Aku
tak memperdulikannya. Mataku menatap jauh ke seberang sana. Melangkahi
batu-batu cadas hitam dengan bayangmu diatasnya. Nelayan itu pergi dengan
meninggalkan sebuah tepukkan iba di bahu kiriku. Ia melangkah pulang.
***
Minggu
lalu, melalui secarik kertas berukir berwarna cokelat yang diletakkan di atas
meja kerjaku dihari yang sama ketika kita menikmati senja akhir pekan sepulang
kerja menjadi jawaban akan akhir kisah kita. Ingatkah kau bahwa kita akan selalu
menghabiskan cerita kita selama satu minggu itu di sini, di pantai dengan
batu-batu cadas hitam ini? Dan kemudian kita akan kembali satu minggu
berikutnya untuk cerita-cerita lain yang berbeda? Tidakkah itu bermakna bahwa
kita nyaman menjalaninya? Dan tidakkah itu berarti bahwa kita ingin memahami
satu sama lain? Dan tidakkah kenyamanan dan pemahaman itu bermakna cinta?! Lalu
kenapa kau hadirkan secarik kertas cokelat berukir itu diatas meja kerjaku,
sesaat sebelum sempat kupencet tombol ‘send’
untuk kalimat “j-e-n-g-u-k senja yukk..”
pada layar handphone-ku?
Dan
tahukah kau sejak kertas cokelat berukir itu ada di atas mejaku, malam-malamku
kian panjang dan resah? Anak-anak ‘dua ribu rupiah’ yang sempat kau lahirkan
dan aku dandani datang dengan seribu tanya dalam mimpiku “Ibu kemana, Ayah? Ibu
sudah berhari-hari mandul, tak melahirkan lagi? Ada apakah sebenarnya Ayah?”
Lalu dengan apakah aku harus menjawab mereka sementara kertas cokelat berukir
itu telah merebut paksa rahimmu dariku, dari anak-anak kita, dari calon
anak-anak kita?
Dan
senja ini, aku masih terduduk di bibir pantai ini, Senggigi. Semburat jingga di
seberang lautan perlahan berganti hitam. Angin semakin dingin. Batu-batu cadas
hitam masih kokoh sementara ombak tak lagi menampar mukanya. Kepiting kecil
menatapku malu-malu dari liang pasirnya. Malam akan segera menyelimuti. Namun
aku, yang kini ditemani anak-anak kita, masih ingin menanti. Aku ceritakan pada
mereka bahwa sore tadi kau terlihat sangat anggun. Laki-laki itu, yang tak
pernah aku tahu ia ada, memegang tanganmu erat. Beberapa undangan satu-satu
menyalami dan memberi restu. Dari luar panggung, kurekam simpul senyum
terakhirmu sebagai kado untuk anak-anak kita. Aku pergi setelah meninggalkan
secarik kertas cokelat berukir dan selembar dua ribu rupiah dalam kotak di
pintu masuk tetamu.
Dan
ke tempat inilah aku berlari. Menikmati angin senja, mencumbui pepasir, memotret
batu-batu cadas. Hanya bedanya, kali ini aku ditemani ‘anak-anak’ kita, dan
diatas batu-batus cadas itu tak ada lagi silhoetmu.
Bersama
restu dan doa suci, kutitip dua ribu rupiah kita. Aku yakin dua ribu rupiah itu
akan menjadikanmu seorang Ibu yang baik, layaknya dahulu, ketika simpul senyum
dan tatapan mata kita menjelma bayi-bayi mungil nan cantik dan imut-imut!
“Barokallahu lakuma wabaroka
‘alaikuma wajama’a bainakuma fii khair..”
Dan
malam pun sempurna membawa lari senja kita!
Mataram,
subuh 07 April 2013.
*SUARA NTB, 7 Desember 2013.
*SUARA NTB, 7 Desember 2013.
keren....
BalasHapuscuman sayanya yg kurang paham maksud ceritanya...
hehe..
Maaf Langit, baru buka blog ini. Saya jarang nge-blog soalnya :)
BalasHapusHehehe, memang ceritanya agak kesana kemari, hehe. Intinya tentang kisah cinta yang tak berakhir indah :)