Cerpen : Syarif Husni*)
IA termangu di kursi tua rumahnya. Raut mukanya seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Seakan ia sedang bermimpi. Di dalam mimpinya ia mendengar kata-kata itu diceritakan oleh seorang ina1 paruh baya. Tetapi, ketika matanya mengamati sekelilingnya, ia tersadar bahwa ia tidak sedang bermimpi. Pemandangan yang terpampang didepan matanya jelas adalah sebuah kenyataan. Pemandangan yang hampir sama sejak tiga tahun yang lalu. Sebuah ruang tamu rumah panggung sederhana dengan empat buah kursi plastik warna hijau tanpa meja, sebuah meja kayu besar, sebuah ranjang kayu, sebuah neon yang tergantung langsung dibawah genteng rumah karena rumah tersebut tidak memiliki plafon, beberapa poster dan kaligrafi mewarnai dinding rumah yang terbuat dari papan, serta tikar yang terbuat dari daun pandan tergelar dilantai rumah. Dari tempat duduknya, ia dapat langsung memandang isi kolong rumah tersebut melalui celah papan lantainya.
“Ba’a Ranggae..” suara itu kembali menyadarkannya.
“Ruma Tala na wa’ura ka eda sama mena wua rawi manusia ma mbai2..”.
Entah kenapa ia begitu risih mendengar kata itu. Bulu kuduknya merinding mendengarnya. Kata itu memiliki kekuatan magis yang luar biasa. Apalagi kata itu diucapkan oleh orang yang sangat dia hormati dan dia keramatkan, Ina. Ia merasakan semua persendiannya hancur dan darahnya memancar keluar begitu kata itu keluar dari mulut Ina-nya. Tubuhnya gemetar. Bibirnya pucat mengucapkan kembali kata itu. Lirih. Ba’a!. Oh, betapa ngerinya!.