Syarif Husni's Greeting


Minggu, 24 April 2011

Ba’a


      Cerpen : Syarif Husni*)

IA termangu di kursi tua rumahnya. Raut mukanya seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Seakan ia sedang bermimpi. Di dalam mimpinya ia mendengar kata-kata itu diceritakan oleh seorang ina1 paruh baya. Tetapi, ketika matanya mengamati sekelilingnya, ia tersadar bahwa ia tidak sedang bermimpi. Pemandangan yang terpampang didepan matanya jelas adalah sebuah kenyataan. Pemandangan yang hampir sama sejak tiga tahun yang lalu. Sebuah ruang tamu rumah panggung sederhana dengan empat buah kursi plastik warna hijau tanpa meja, sebuah meja kayu besar, sebuah ranjang kayu, sebuah neon yang tergantung langsung dibawah genteng rumah karena rumah tersebut tidak memiliki plafon, beberapa poster dan kaligrafi mewarnai dinding rumah yang terbuat dari papan, serta tikar yang terbuat dari daun pandan tergelar dilantai rumah. Dari tempat duduknya, ia dapat langsung memandang isi kolong rumah tersebut melalui celah papan lantainya.
Ba’a Ranggae..” suara itu kembali menyadarkannya.
“Ruma Tala na wa’ura ka eda sama mena wua rawi manusia ma mbai2..”.
Entah kenapa ia begitu risih mendengar kata itu. Bulu kuduknya merinding mendengarnya. Kata itu memiliki kekuatan magis yang luar biasa. Apalagi kata itu diucapkan oleh orang yang sangat dia hormati dan dia keramatkan, Ina. Ia merasakan semua persendiannya hancur dan darahnya memancar keluar begitu kata itu keluar dari mulut Ina-nya. Tubuhnya gemetar. Bibirnya pucat mengucapkan kembali kata itu. Lirih. Ba’a!. Oh, betapa ngerinya!.

***
Sebulan lagi akan ada pemilihan kepala desa secara langsung oleh warga desa. Beberapa nama muncul dalam jajaran pencalonan. Ada Ua Lendo, seorang pengusaha genteng Pejaten3 yang pernah memprakarsai dan memimpin warga untuk membuka lahan hutan di So Padotuntu4 untuk di jadikan lahan berladang. Hal itu konon dilakukan karena Ua Lendo prihatin mengetahui banyak rakyat desa tersebut tidak memiliki Dana Ngaha5. Maka dengan kenekatannya, ia mengajak warga untuk beramai-ramai membuka lahan di pegunungan Oi U’a6, tepatnya di So Padotuntu. Hal itu cukup membuat ia dikenal luas dan dihormati oleh masyarakat didesa kecil ini. Dan ia menyukai itu!. Tetapi ada ganjaran lain yang harus dia terima. Bercokol di penjara selama empat bulan sebagai hukuman atas tindakannya memprakarsai peladangan liar. Tokoh lain yang mencalonkan diri adalah Dae7 Redo, kepala desa yang masih menjabat. Beberapa minggu lagi masa jabatannya akan segera berakhir. Dan ia akan kembali maju mencalonkan diri. Sebagian masyarakat ada yang mendukungnya tetapi sebagian lagi enggan mencoblosnya untuk yang kedua kalinya karena terbukti ia mengingkari janji politiknya, begitu kata warga. Nama berikutnya adalah Wihu, seorang tokoh muda di desa itu. Ia dekat dengan para pemuda karena masih menggemari hobi masa mudanya yaitu bermain sepak bola. Tidak heran kemudian banyak kaum muda yang mendukungnya dalam memenangkan pesta demokrasi desa kecil itu. Nama terakhir adalah Jum’at Yusuf atau lebih dikenal dengan sapaan Baba8 Jama’a, adalah seorang guru ngaji sekaligus tokoh agama didesa itu. Ia adalah sosok yang berbeda dan paling menyita perhatian warga di antara keempat calon. Ia adalah putra sulung dari Pak Yusuf atau lebih dikenal dengan Sao bangao9. Kemunculannya dua belas tahun yang lalu membawa perubahan yang drastis bagi desa itu. Ia benar-benar malaikat penyelamat bagi desa itu. Ia memberikan apa yang selama ini didamba oleh segenap penghuni desa itu.
Dua belas tahun yang lalu, disaat kanak-kanak kampung itu butuh guru spiritual, ia muncul secara tiba-tiba setelah merantau selama sembilan tahun ke ibukota. Berbekal sedikit ilmu agama yang ia dapatkan di ibukota, ia membuka taman baca Qur’an pertama didesa itu. Karena belum mempunyai sekretariat sendiri, maka taman baca Qur’an tersebut untuk sementara menjadikan masjid desa sebagai pusat kegiatannya. Iapun kemudian mengabdikan diri di desa kecil itu. Sebuah pengabdian yang belakangan terlupa oleh manusia!.
***
Tiga minggu menjelang hari pemilihan kepala desa. Suhu politik memanas. Semua tegang. Semua panik mencari dukungan. Konspirasi merebak. Malam itu La10 Rangga dilibatkan dalam sebuah agenda pertemuan team sukses sang guru, Baba Jama’a. Beberapa orang tokoh dan pemuka masyarakat yang menyatakan diri mendukung Baba Jama’a malam  itu hadir. Pertemuan diadakan dirumah Baba Jama’a sendiri yang bersebelahanan dengan Sekolah Dasar Negeri desa itu, satu-satunya sekolah dasar yang ada di desa tersebut. Ada banyak strategi yang disusun malam itu demi memenangkan pemilihan kepala desa. Bukan untuk pemuasan syahwat kekuasaan. Tetapi untuk sebuah pengabdian!. Ya, pengabdian. Pada sang Rabb dan manusia. Pertemuan ditutup dengan do’a bersama dengan harapan semoga Allah SWT meridhoi apa-apa yang dihajatkan malam itu.
Sementara itu, di sudut lain malam desa kecil itu, konspirasi lain juga terjadi. Beberapa pemuda desa berkumpul dirumah salah seorang calon di desa itu, Wihu. Tujuan pertemuan sama, yaitu merancang strategi pemenangan pesta demokrasi rakyat desa. Tapi ada yang berbeda. Di sini tidak ada do’a. Tidak ada penyerahan urusan kepada yang MAHA BERKUASA atas segala sesuatu. Do’a diganti dengan gelas-gelas miras yang diselingi sumpah serapah dan kutukan bagi kubu lain. Kata-kata kotor dan jijik menyemburat keluar dari mulut-mulut dengan aroma alkohol menyengat. Akan tetapi, walaupun pertemuan malam itu tanpa do’a dan selalu diselingi sumpah serapah, ada konspirasi matang yang disepakati. Sebuah konspirasi yang mengawali serentetan Ba’a!.
***
Keesokan harinya –tepat ketika mata manusia baru terbangun dari lelapnya- sebuah badai menimpa kubu sang guru ngaji. Badai yang meluluhlantakan apa yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Sebuah kabar yang dihembuskan oleh lawan politik sang guru bahwa Baba Jama’a terlibat dalam penyelundupan sejumlah kantung semen proyek sebuah perusahaan kontraktor yang sedang mengerjakan proyek jalan penghubung so pariatebe11 dengan salah satu desa tetangga. Kabar itu begitu santer berembus di masyarakat tanpa ada kesempatan untuk klarifikasi. Tidak ada sama sekali. Kejam. Jijik. Dan Kotor!.
Sang guru ngaji adalah salah seorang staf security di perusahaan itu. Ia diterima bekerja di perusahaan tersebut tiga bulan yang lalu. Sebenarnya bisa saja ia mewajibkan setiap muridnya untuk membayar iuran bulanan untuk sekedar memenuhi kebutuhan dapurnya. Ia tidak perlu harus membanting tulang. Mendapatkan shift jaga malam dan harus begadang semalam suntuk hingga sang mentari menunjukkan wajahnya. Dan ia juga tidak harus kehilangan satu giginya karena kecelakaan kerja. Tidak perlu!. Akan tetapi, ia tidak mau melakukan itu. Semua murid-muridnya ia gratiskan. Tidak ada satu  rupiah-pun yang harus dibayarkan. Semua ia jalani tanpa pamrih. Akan tetapi hati manusia mudah sekali untuk dibutakan. Fitnah itu dengan kejam dan kasar dilempar ke mukanya. Mengenai tepat di jidat sang guru. Lecet dan bau bangkai!.
Perlahan dan pasti, satu demi satu, pendukung sang guru mulai membelot. Konspirasi dan serangan-serangan politik semakin gencar. Sampai akhirnya hati manusia benar-benar buta. Kemenanganpun dirayakan dengan botol-botol miras dan nafas-nafas bau alkohol. Melewatkan malam-malam mereka dengan kubangan kemaksiatan yang dibalut keindahan oleh kawan abadi mereka, si terkutuk yang terusir dari syurga!.
***
Belum genap setahun pemenang pilkada menjalankan pemerintahan Desa, serentetan Ba’a menyeruak ke permukaan. Murka dari langit menyapa semua warga Desa tersebut. Menyeruak kabar bahwa La Gamrati, keponakan sang kepala desa terpilih, bunting di luar nikah. Sang kades kebakaran jenggot dan berusaha menutupi kabar itu. Ia mengumpulkan semua sanak keluarganya dan menginterogasi La Gamrati mati-matian.
Ngoa, cou karawi labomu??? Ngoa…!!12” teriak sang kades.
Lekapu asamu, aina kamidi weki..13” gertaknya tanpa ampun.
Dengan malu-malu, keponakan sang kades mengakui kalau janin yang ada dalam kandungannya adalah buah perselingkuhannya dengan La Usu, tetangga rumahnya yang sudah beristri dan memiliki dua orang anak. La Usu sendiri menghilang entah ke mana setelah kabar kebuntingan La Gamrati menjadi buah bibir di desa itu.
Sementara itu, sang guru ngaji yang malam itu sedang berada di nggaro14-nya, menangis terkulai dalam pelukan malam yang khusuk bertasbih. Ia beristigfar mohon ampun pada Sang Rabbul Izzati atas kejadian dan aib yang terjadi di kampung itu. Kampung kecil tempat ia dilahirkan. Tempat ia membina kanak-kanak mengaji. Miris hatinya mendengar kabar itu. Ia sudah berusaha untuk mencegah setiap kemaksiatan yang terjadi di kampungnya. Salah satunya dengan mendirikan Taman Bacaan Qur’an di desa itu. Akan tetapi, sang kades malah ingin menutup Taman Bacaan Qur’an tersebut dengan alasan ajaran sesat, meresahkan masyarakat, dan alasan-alasan tidak logis lainnya.
***
Satu bulan berlalu...
Rasa malu yang melekat diwajah segenap warga desa itu karena kasus La Gamrati belum jua terhapus. Kembali Ba'a meluluhlantahkan kehormatan segenap warga desa sebagai manusia- yang bermoral dan beragama-!. Manusia yang lebih mulia dari binatang. Belumlah sembuh aib itu, berembus aib lain. Sepasang adik kakak menjadi budak syahwat mereka. Beruntung, tidak sampai membuahkan janin, sehingga keluarga masih bisa menutup borok itu. Jijik dan berbau. Baunya akhirnya pun menyentuh lendir-lendir hidung para tetangga. Dan kembali kemuliaan jubah manusia sebagai mahluk mulia terkoyak!.
***
Bersama suntuknya malam, ditemani suara tasbih jangkrik, di salaja15-nya, Sang guru menangis. Bertanya pada-Nya. Memohon ampun. Atas ketidakberdayaannya mencegah kemungkaran. Atas kesombongan manusia, yang berani melanggar. Atas rentetan Ba'a yang melucuti rasa malu dari diri makhluk bernama manusia. Atas pemimpin yang bernafsu dunia, yang mempecundangi akhirat.
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, jangan Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, Ampuni kami.....”16
***
Rasa ndai na wa'u-ra mbai Anae...17.”.
La Rangga memandang wajah Ina-nya. Sebuah harap terbaca dengan jelas di gurat wajah tua itu. Tidak ingin kata dengan tiga huruf dan sebuah tanda petik itu terdengar lagi. Biarkan ia pergi, dibawa angin. Kembali ke langit. Ina ingin bernafas dengan tenang disisa usianya. Tanpa Ba'a, tanpa murka-Nya.
Dalam lubuknya terdalam, La Rangga mengaminkan do'a tak terucap Inanya. Dan juga do'a sang guru, serta do'a manusia yang masih punya hati di desa itu!.

                                                    (Syarif Husni, Bima, Akhir 2009)
Terbit di Harian Lombok Post, Edisi 17 April 2011.

Footnotes :
Ba’a = kutukan, azab, murka.
1Ibu (Bhs bima)
2 “Allah SWT telah memperlihatkan buah dari dosa-dosa manusia..” (Bhs bima)
3Salah satu perusahaan genteng yg beroperasi di Bima
4Nama area perladangan liar di kawasan Gunung Parewa, Bima.
  5Tanah Pusaka : biasanya di wariskan dari nenek moyang
6Salah satu objek wisata alam yg sangat potensial. Akan tetapi belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah daerah Kab. Bima. Area ini juga pernah disurvey oleh pihak Pertambangan dan terindikasi menyimpan kekayaan alam berupa emas dan mangan.
7Dae : gelar kebangsawanan di Bima, dan biasanya disematkan pada pemimpin daerah atau desa.
8Baba : abang, kakak (Bhs bima)
9Orang Bima suka memberi gelaran kepada orang lain. Sao bangao adalah contoh gelaran tersebut. Sao diambil dari namanya Yusuf, sedangkan bangao adalah gelar tambahannya.
10Si Rangga. La berarti si,. La Beko =Si Abubakar, La Uma = Si Umar, dsb.
11Nama sebuah area pertanian di wilayah kab. Bima
12Kasih tahu, dengan siapa kau berbuat??? Kasih tahu..!!!
13Bicara, jangan diam..!
14kebun (bhs bima)
15Rumah kecil yang biasanya ditemukan disawah atau kebun
16Qs. Albaqarah : 286
17Kampung kita telah rusak moralnya, Nak..


*Tentang Penulis : Syarif Husni, kelahiran Bima 24 tahun yang lalu. Mulai menulis sejak SMA dan mengedarkan tulisan secara indie ke teman-teman kuliah di Bahasa Inggris Univ. Mataram. Saat ini berdomisili di BTN Sweta Indah, Cakranegara dan bergabung bersama teman-teman penulis di Forum Lingkar Pena (FLP) Mataram. Penulis bisa dihubungi di ranggadarere@yahoo.co.id, atau Phone 087863328811.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar