Syarif Husni's Greeting


Minggu, 26 Juni 2011

Para Pewaris Penyakit Andrea part 1 : "Cinta adalah tumpukan pasir campur kerikil rasa kolam renang biru".


Tak kusangka, bercengkerama dengan Padang Bulan-nya Andrea Hirata telah menyadarkan aku akan satu hal. Bahwa cinta beda tipis dengan kegilaan!.

Andrea bercerita bagaimana dia tergila-gila pada sosok gadis Tionghoa anak pedagang Kelontong disudut pasar di Belitong sana. Cinta yang membuat Andrea melakukan hal-hal gila yang tak pernah mampir dibenaknya sebelum itu. Cinta yang menyeruak tiba-tiba ketika dia di minta untuk membeli kapur tulis di toko kelontong tua itu. Dan tanpa diduga-duga, laksana dipanah berkali-kali oleh cupid, Andrea dihantam oleh perasaan yang aneh ketika melihat tangan yang menyodorkan kotak kapur tulis dibalik loker toko kelontong itu. Tangan itu bukanlah tangan kekar dan keriput seperti biasanya. Tangan itu adalah tangan yang putih mulus dengan kuku-kuku yang bersih dan wangi. Seketika dada Andrea kecil dipenuhi bunga-bunga yang entah datangnya dari mana. Belakangan ia mengerti bahwa itulah cinta. Bahkan cinta pada bentuknya yang paling klasik : cinta pada pandangan pertama. Sejatinya, pada pandangan tangan pertama!.
Belakangan, penyakit Andrea semakin menjadi-jadi. Yang terpikirkan adalah bagaimana membuat A Ling terpikat. Menulis puisi-puisi romantis, bolak-balik mengayuh sepeda ke radio suara pengejawantahan hanya untuk request lagu dan berharap A Ling akan mendengarkannya, merayu sang pemburu pemilik pekatik hingga kembang kempis hidungnya untuk sekedar sudi dipinjamkan pekatik rajanya, bahkan sampai pada tahap yang ekstrem : melarikan si gadis Tionghoa ke jakarta dengan menumpang kapal Mualim Syahbana. Tidakkah itu semua adalah ide-ide gila kawan?. Dan kau akan lebih terkejut lagi bahwa semua hal-hal yang dilakukan Andrea tersebut diidentifikasi medis sebagai gejala penyakit ‘cinta gila’!.

Penyakit gila Andrea ternyata diwarisi dengan sangat apik oleh generasi setelahnya. Bahkan mereka mewarisinya langsung pada stadium yang paling puncak : stadium empat, sudah menjalar!. Pewaris sejati penyakit udik tersebut adalah beberapa orang teman-temanku di SD, SMP,SMA, dan juga aku sendiri!.

Adalah Muslimin Muhtar, anak kepala dusun didesaku, adalah korban paling awal dari penyakit ini. Limi –begitu kami biasa memanggilnya- adalah teman kelasku disebuah SD yang kekurangan guru dipedalaman Bima sana, negeri yang sangat jauh dari negerinya Andrea. Namun jarak tidaklah berarti bagi penyakit gila ini untuk mengintai korbannya.

Awal tertularnya makhluk gemuk hitam ini adalah ketika suatu hari –waktu itu kami kelas 3- seorang anak baru menambah jumlah penghuni bangku kelas kami. Indry namanya. Gadis cantik berkulit sawo matang serta berlesung pipi. Jika Andrea telah begitu gilanya hanya dengan melihat tangan mulus yang nongol dari balik loker toko, maka bisa dibayangkan bagaimana dengan kawanku yang satu ini ketika penyakit itu menyerangnya pada pandangan pertama?.

“Cantiknya juara entebe, Lenga!” bisiknya pada Syahrin Thamrin yang tidak lain adalah sepupu sekaligus teman satu bangkunya. Sepupunya itu hanya diam dengan mulut terbuka, terpaku pada sosok yang dikenalkan oleh guru kami waktu itu, Ibu Atikah.
Oh ya kawan, tahukah kau bahwa Ibu Atikah juga adalah guru yang sangat cantik di sekolah kami. Usianya masih sangat muda : dua puluh empat. Walaupun cantiknya minta ampun, Ibu Atikah ternyata galaknya melebihi anjing pelacak. Itulah sebabnya, kami selalu tidak berkutik dihadapannya.

“Nama saya Indry. Saya pindahan dari Dompu…”

“Indry. Nama yang indah, Lenga!” refleksnya pada sepupunya yang masih diam sedari tadi. Namun Limi tidak membutuhkan tanggapan. Cukup baginya sepupunya itu paham bahwa ia mengagumi sosok yang bahkan belum terdaftar dan mendapatkan nomor urut absen kelas itu.

Keesokkan harinya, sejak pertemuan perdananya dengan Indry kemarin, Limi berubah drastis. Daki kering dileher mulai berkurang. Lukisan wajib nusantara yang biasa terbaca pada seragam merah hatinya tidak terlihat lagi. Ia semakin parlente dengan seragam putih-putih serta rambut lepek basah kuyub oleh minyak orang-aring yang bahkan menetes hingga ke alis-alisnya. Ia layaknya panglima TNI AU nyeker karena memang saat itu sepatu hanya kami pakai ketika upacara bendera hari senin. Gejala-gejala penyakit Andrea mulai terlihat.

Cinta memang selalu butuh perjuangan dan pengorbanan. Tidak ada yang selalu mulus dan fine-fine saja jalannya. Begitulah nasib Limi. Kompetisi adalah mutlak dalam ajang perebutan cinta. Hadirnya kompetitor sekaligus sebagai pembuktian ‘kepantasan’ seorang pangeran untuk memboyong sang puteri. Dan kompetitor Limi tidak satu kawan, tapi dua sekaligus : sepupunya sendiri, Syahrin Thamrin, dan senior dari kelas empat, Syahruddin. Tak ayal kemudian, tampil parlente, terutama dihadapan Indry, adalah satu-satunya jalan yang ditempuh Limi untuk memenangkan kompetisi karena kalau dinilai dari aspek manapun, maka hampir bisa dipastikan ia akan kalah telak. Otak?. Lihat saja merah padam muka Bapaknya setiap kali penerimaan rapor seakan hendak menyamai berdesak-desak angka merah di kolom-kolom rapornya. Rapor kedua kompetitornya masih jauh lebih baik dari rapornya. Minimal angka merahnya tidak terlalu berdesak-desak. Rupa?. Jika kau pernah melihat lukisan gambar gajah mada; gempal, hitam, dengan warna alis seumpama arang yang paling orisinil, maka Limi mungkin adalah duplikatnya dengan sedikit kesalahan cetak pada tinggi badan dan porsi otak.

Itu mungkin adalah bagian perjuangannya. Bagian pengorbanannya adalah belum genap tiga hari Indry resmi tercatat sebagai murid kelas kami, kongsi Limi dan sepupunya pun pecah. Saha –nama panggilan Syahrin Thamrin- tidak sudi satu bangku dengannya. Bukankah dua petinju memang harus dipisahkan ringnya sebelum pertarungan dimulai?.

Hari demi hari. Ketiga kompetitor ini berjuang keras dengan cara mereka masing-masing. Gagah-gagahan ala bintang film India. Atau tampil sebagai pahlawan dalam tim olahraga. Saha adalah jagoannya permainan kasti. Pukulannya akurat dan keras. Tidak jarang bola seukuran kepal tangan orang dewasa itu melambung tinggi melewati pagar bambu sekolah hanya dengan sekali ayunan saja. Syahruddin adalah pahlawan lapangan segiempat penuh kerikil dan debu dihalaman sekolah kami. Bola sepak telah menyatu dalam diri anak temperamental itu. Mukanya akan memerah ketika segerombolan anak-anak putri, termasuk Indry, bersorak ketika goal ia persembahkan untuk timnya.
Cinta ternyata selalu menawarkan kejutan-kejutan. Kadang kala ia tidak memihak. Tetapi justru berada pada sisi yang lain. Sisi yang paling tragis sekalipun. Seketat apapun ketiga anak kampung itu bersaing, tidak sedikitpun hati Indry tertambat pada salah seorang diantaranya. Gadis primadona itu seakan mati rasa. Semua ditanggapi serba biasa. Dan itu adalah sebuah misteri bagi ketiga anak kampung yang terobsesi itu.

Hingga puncak pengorbanan Limi adalah ketika si gemuk itu sangat terobsesi mengalahkan Syahruddin dalam permainan bente. Permainan bente adalah permainan dimana kami akan terbagi menjadi dua tim yang masing-masing tim biasanya diisi oleh lima hingga tujuh orang. Masing-masing tim akan memilih pohon atau batu yang akan dijadikan benteng. Benteng tersebut harus dijaga hingga tetesan darah terakhir oleh segenap anggota tim. Dan tugas lawan adalah menembus benteng itu. Tim yang berhasil menyentuh benteng lawannya akan tampil sebagai pemenang, mempencundangi tim yang kalah.

Permainan ini layaknya perang. Taksirku permainan ini terinspirasi dari taktik perang. Setiap tim berusaha menghabisi lawannya. Cara mainnya adalah semua anggota tim berkumpul mengelilingi benteng masing-masing. Maka salah seorang prajurit dari salah satu tim akan menyerang terlebih dahulu. Anehnya, prajurit yang menyerang terlebih dahulu ditakdirkan untuk dipecundangi oleh prajurit dari tim lawan. Selalu kalah. Ia laksana martir. Tidak heran hanya tim dengan strategi yang sangat matang yang siap menyerang lebih dulu. Dan pertandingan kali ini akan mempertemukan tim kelas tiga dan tim kelas empat.

Ada satu kesempatan yang selalu ditunggu Limi sebelum keluar dari bentengnya. Yaitu ketika Syahruddin keluar terlebih dahulu dari bentengnya. Dan obsesinya adalah mempencundangi Syahruddin dihadapan mata kepala gadis pujaannya. Gadis berkulit sawong matang dengan lesung pipi.

Hingga saat itupun tiba. Syahruddin yang tidak tahu kalau seorang sniper hitam gemuk sedang mengintainya, dengan gagah keluar dari pertahanannya. Maka tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Limi melesat, melejit tangkas bak kepakkan sayap burung wallet penderita obesitas, mengejar Syahruddin. Syahruddin yang menyadari bahaya mendekatinya segera berusaha menyelamatkan diri. Kejar-kejaran terjadi. Memutari tiang bendera ditengah lapangan layaknya kucing dan tikus. Meliuk-liuk. Berkali-kali. Tersengal-sengal. Itulah satu bagian dari gejala penyakit cinta gila.
Syahruddin lari keluar dari lapangan menuju teras kelas. Semakin cepat Syahruddin berlari, semakin bersemangat Limi ingin menangkap dan mempencundanginya. Kejar-kejaran berlanjut ke teras kelas. Saat diteras kelas itulah, obsesi cinta menampakkan sisi tragedinya yang paling tragis. Dengan kecepatan yang tak biasa, Syahruddin melompati teras kelas yang agak tinggi, melayang dan mendarat ke tanah penuh kerikil berdebu, lima meter jauhnya dari pinggir lapangan.

Limi dengan ambisi di ubun-ubun berniat melakukan aksi laga luar biasa. Mungkin terinspirasi dari film laga Bruce Lee, laksana seekor harimau lapar yang melihat pelanduk didepannya, ia melompat. Tak tanggung-tanggung dengan ancang-ancang panjang dan hentakkan kaki yang menghasilkan gaya dorong paling maksimal, membawa ia sejenak mengangkasa hampir sejajar dengan ujung bawah atap sekolah dan kemudian terbanting jatuh diatas tumpukkan pasir dan kerikil laksana satu karung kelapa yang dijatuhkan dari pohonnya. Sesaat setelah suara dentuman terdengar hingga ke seberang pagar sekolah, dengan sempurna ia melukis tubuh gemuknya diatas tumpukkan pasir campur kerikil yang barangkali disangkanya air. Sakit bukan kepalang kawan. Perut dan lututnya dipenuhi bintik-bintik merah darah. Cinta ternyata kejam pada orang-orang macam Limi yang tidak memperkerjakan semua porsi otaknya.

Kami mengangkatnya ke dalam kelas. Ibu Atikah bergegas dari kantor dengan segelas air gula hangat. Si hitam itu laksana badak mati, tergeletak diatas meja. Berdarah-darah ia membuktikannya cintanya pada Indry yang mati rasa. Baginya, mempecundangi kompetitornya adalah satu langkah maju menuju pintu gerbang hati Indry.

Diam-diam aku memetik satu pelajaran penting dari kejadian itu. Bahwa cinta kadangkala bisa merubah tumpukan kerikil campur pasir menjadi kolam renang biru. Maka, hati-hatilah kawan!.

[R. Darere, diciduk dari Mozaik-Mozaik Anak Kampung, 270611].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar