Syarif Husni's Greeting


Minggu, 02 Oktober 2011

Dawai Rindu untuk Abang


LANGIT MALAM diatas atap sebuah bangunan rumah sederhana disebuah desa kecil di pelosok Lombok kembali mendung. Entah untuk kesekian kalinya langit selalu mendung. Di sana, di langit itu tidak ada bintang. Tidak ada bulan. Tidak ada cahaya. Gelap. Hambar. Kosong. Senada dengan hatiku saat ini.
 
Kupandangi seisi rumah sederhana itu. Dua buah kertas buffalo warna pink dan putih, dengan coretan boardmarker hitam, serta lakban hitam pada empat sudutnya menempel di dinding bangunan itu.  Sebuah gelas kaca kecil dibiarkan tergeletak begitu saja di atas kusen jendela dapur yang tersambung langsung dengan ruang tamu rumah sederhana itu. Didapur nampak beberapa piring tersusun menumpuk serta sebuah lampu minyak berdiri di pojok. Rumah ini sudah lama tidak berpenghuni, sejak beberapa bulan yang lalu. Tetapi buatku, mengunjungi rumah ini adalah rutinitas yang selalu ingin kuulangi; dari jam ke jam, hari ke hari. Dan kali ini aku datang lagi untuk menemuimu. Adakah kau tahu itu?.
***

 Awalnya aku tidak pernah mengenalmu. Dan sama sekali tak tertarik untuk mengenal sosok-sosok sepertimu. Buatku orang-orang macam kau dan teman-temanmu itu adalah tidak lebih dari sekumpulan orang-orang aneh dan kurang kerjaan di kampusku. Sok alim. Sok suci. Sok nasehatin orang. Kuman seberang samudera dengan mudah dapat dilihat oleh orang-orang macam kau dan kawan-kawanmu itu, tetapi segerombolan gajah didepan mata, kau buta. Sungguh aku benci orang-orang macam kau!.
***
JANUARI 2010. Masih ingatkah kau bulan itu?. Ya, bulan awal pertemuan kita. Bulan dimana untuk pertama kalinya aku berinteraksi dengan orang sepertimu, sosok yang aku benci dalam hidupku.
Dalam sebuah agenda universitas, kita bertemu. Agenda Kuliah Kerja Nyata (KKN). Sore itu, kita rapat persiapan peninjauan lokasi. Itulah pertama kali aku melihat sosokmu. Pada pertemuan dua hari sebelumnya, kau tidak bisa datang. Kerjaan tidak bisa ditinggal, katamu. Tidak pernah aku membayangkan rupamu sebelumnya. Aku hanya mengenal namamu, karena kau adalah partnerku dalam program itu. Dan tahukah kau betapa aku terkejut dan marah ketika pertama kali menatapmu sore itu?. Kenapa aku dipasangkan dengan orang macam kau?.
Aku tidak terima. Maka keesokkan harinya, aku coba komplain ke pihak universitas. Aku minta ganti partner. Tetapi keinginanku tidak dikabulkan karena pihak universitas tidak ingin lagi mengotak-atik data yang sudah final hanya karena menuruti keinginan seorang mahasiswi macam aku.  Maka akupun pasrah. “Sabar dan jalani..” aku coba menghibur diri.
Dan benar saja apa yang aku khawatirkan. Pada pertemuan kelompok berikutnya, aku benar-benar kau permalukan. Dihadapan teman-teman kau tolak uluran tanganku yang ingin berkenalan.
“Astiwi Pradini..” kataku mengulurkan tangan perkenalan waktu itu.
“Syahid..” katamu sambil menelungkupkan tanganmu tepat didepan dada, layaknya petugas resepsionis hotel menyambut tamunya, ogah meraih uluran tanganku.
Sungguh aku sangat malu saat itu. Bagaimana mungkin seorang mahasiswa macam kau menolak meraih uluran tanganku?. Padahal semua teman laki-lakiku selalu menyambut uluran tanganku ketika pertama kali aku berkenalan dengan mereka. Bahkan sebagian dari mereka ada yang sengaja berlama-lama menggenggam tanganku.
“Kita satu kelompokkan?” tanyaku.
“Iya..” jawabmu.
Setelah itu kau terdiam. Menunduk. Tidak bicara lagi. Diam yang tak pernah kupahami saat itu. Diam yang belakangan aku pahami sebagai sebuah prinsip hidup yang kau pegang. Jujur, dalam hati aku kesal. Aku menggerutu. Duh, Tuhan, kenapa engkau kirim makhluk bisu ini menjadi partnerku?. Aku iri dengan teman-teman mahasiswa lain yang begitu akrab dengan partnernya. Aku iri melihat Rendy dan Mirna yang sangat akrab padahal baru beberapa hari saling mengenal. Aku iri melihat Reno yang membonceng Kirana ke kampus padahal mereka baru saling kenal dua hari yang lalu. Kau?. Jangankan bercanda atau membonceng aku ke kampus, menatapku saja sepertinya kau tidak mood.
***
Minggu kedua di lokasi KKN..
Minggu kedua KKN, aku mulai terbiasa denganmu. Walaupun kau lebih banyak diam, aku sama sekali tidak mengalami kesulitan komunikasi denganmu. Semuanya lancar-lancar saja. Perlahan kesan yang aku bangun tentang kau dan teman-temanmu sejak dulu mulai terkikis, walau belum sepenuhnya hilang.
Kau mulai enak diajak bicara, walau sebenarnya aku masih takut dan was-was. Hingga suatu sabtu sore di minggu kedua itu. Waktu itu aku kelelahan melewati dataran yang agak tinggi. Kakiku sakit. Patah tulang kaki yang ku alami karena kecelakaan motor dua bulan yang lalu belum sepenuhnya sembuh. Aku berhenti. Dan terduduk.
Ada apa?” tanyamu. Heran.
“Kakiku sakit...” rengekku. Kaum terdiam.
“Tunggu sebentar” lanjutmu meninggalkanku. Beberapa saat kemudian, kau kembali dengan sepotong kayu ditanganmu.
“Pegang ini, biar saya bantu jalan...”
Gedebuk!. Bagai palu godam, perasaan bersalah mencabik hatiku saat itu. Perasaan bersalah karena telah menghakimimu dengan penilaian jelekku. Dalam serbuan perasaan itu, perlahan kuraih kayu itu dan berjalan. Begitulah kau menuntunku hingga kita tiba di posko penginapan menjelang adzan magrib.
Malamnya, badanku panas. Aku sakit. Karena tidak memungkinkan untuk ke puskesmas malam itu, kau hanya membelikan aku beberapa tablet obat di apotik yang tidak jauh dari posko.
“Besok pagi kita ke puskesmas. Dewi akan mengantarmu ke puskesmas” katamu sambil mengarahkan pandanganmu pada Dewi, teman posko kita. Dewi mengangguk.
Di posko kau cukup dihormati. Sebagai ketua posko, kau menjalankan tugasmu dengan baik. Merancang program KKN, mengatur jadwal piket masak dan cuci piring, menjadi imam shalat bagi aku dan ke-delapan teman posko yang lain. Ya, kau adalah sosok pemimpin yang ideal buat kami. Tahukah kau akan hal itu?.
Keesokkan harinya panasku mulai turun. Aku urungkan niat untuk ke puskesmas. Sore menjelang. Setelah ashar, tiba waktunya untuk berangkat mengajar lagi. Ku raih almamaterku. Ku pakai.
Tiwi mau ke mana?” tanyamu mengagetkanku.
“Mau pergi ngajar” jawabku.
Tiwi kan sedang sakit. Istirahat saja dulu. Biar aku sendiri saja yang pergi ngajar hari ini...”
Dug!. Darahku berdesir. Tidak percaya!.
“Maksudmu???” penasaranku.
“Tiwi gak usah ngajar dulu hari ini. Biar saya sendiri saja yang pergi. Kamu istirahat saja.  Besok-besok kalo udah sembuh, baru ngajar lagi...”.
Sempatku bertanya waktu itu : Tuhan,  apa aku tidak salah dengar?. Setelah kemarin ia menolongku berjalan, hari ini ia ikhlaskan aku untuk istirahat di posko dan tidak ikut mengajar, padahal mengajar sepuluh orang warga buta aksara sendirian bukan perkara gampang, apalagi ia adalah mahasiswa pendatang yang buta bahasa suku-ku; suku Sasak, Lombok.
“Ya dah, ma kasih ya” jawabku, kembali masuk kamar dan melepas jas almamaterku. Sementara kau berangkat ke tempat kita mengajar buta aksara, sendiri.
***
Awal bulan kedua KKN..
WAKTU BERLARI. Bilangan hari-hari membawa kita semakin dekat di bulan kedua KKN. Entah kenapa, ada perasaan senang ketika ada disampingmu waktu itu. Aku merasa terlindungi. Aku merasa diperhatikan. Sungguh, aku merasa beruntung menjadi partnermu, walau hal itu tidak sempat aku ungkapkan. Terlebih ketika kau izinkan aku memanggilmu Abang’, setelah aku memohon izin untuk memanggilmu dengan kata lima huruf itu. Sungguh aku senang sekali waktu itu!.
Dan tahukah kau bahwa kau telah dengan sempurna memainkan peranmu sebagai seorang Abang?. Masih ingatkah kau ketika kau hendak berangkat ke kampus untuk mengurus kelengkapan data peserta program pemberantasan buta aksara?. Kau mendatangiku dan berkata “Dek mo nitip apa?”. Sesungguhnya aku tidak ingin apa-apa waktu itu. Kau kembali ke posko saja, sudah lebih dari cukup buatku. Tapi kujawab juga tawaranmu waktu itu “pecel Dasan Agung!”. Dan siangnya kau kembali dengan lima bungkus pecel pesanan kami, tepatnya pesananku!.
Seringkali ketika aku memandang wajah teduhmu, ingatanku tiba-tiba jauh melayang ke masa-masa aku SMP dulu, dimana aku diantar kakakku ke sekolah naik sepeda di sebuah desa di kaki Rinjani sana. Sore harinya, kami akan memanen kacang tanah bersama Bapak dan Mama. Kini, kakakku tinggal di luar kota bersama istrinya. Setelah tamat kuliah dan menikah, kakak pergi. Jujur, aku sangat rindu kakakku. Dialah yang akan melindungiku ketika para pemuda desaku diam-diam menggodaku. Aku sangat dekat dengan kakakku. Itulah yang membuat aku selalu mengingat dan merindukannya.
Kehausanku akan kasih sayang orang-orang terdekat semakin menjadi-jadi setelah Bapak dan Mama bercerai. Aku stress. Kuliahku berantakan. Aku bergaul dengan siapa saja. Hingga hampir terjerumus pada dunia yang tidak ingin kuingat kembali.
Putaran waktu kemudian mempertemukan aku denganmu. Menjelang dua bulan kau dan aku terikat sebagai partner program KKN, kau hadir sebagai kakak yang ideal buatku. Walau secara usia kita hanya terpaut beberapa bulan. Hal itu tidak membuat aku segan memanggilmu Abang. Aku juga tidak malu lagi curhat-curhatan padamu. Tentang keluargaku yang berantakan. Tentang keindahan desaku di kaki Rinjani sana. Tentang kehidupan pribadiku yang ‘gak karuan’. Dan waktu itu, kau memberiku semangat untuk kembali menata kehidupanku. Kau juga berjanji akan mengunjungi desaku, ketika musim panen kacang tanah tiba. Masih ingatkah kau tentang itu Abang?. Dan tahukah kau kalau saat ini Bapak sedang memanen kacang tanah?. Bukankah kau suka sekali kacang tanah?. Katamu kacang tanah adalah ‘makanan rakyat’ yang kaya nutrisi. Tapi kenapa kau tak datang Abang?
***
Pertengahan bulan kedua KKN..
Sebelum aku bertemu denganmu, aku seringkali merutuki hidup. Aku sering memaki-maki Tuhan yang aku anggap tidak adil. Setelah aku kehilangan kakakku, Tuhan kemudian merenggut kasih sayang Bapak dan Mama dari sisiku. Bapak dan Mama cerai. Maka jadilah aku anak yang haus kasih sayang. Aku tumbuh pada keadaan dimana aku sendiri tidak kenal siapa diriku.
Kemudian kau hadir. Menyirami relungku yang gersang dengan nasehat-nasehatmu yang bijak dan tidak menggurui. Tidak sok-sokkan seperti kesan awalku padamu dulu. Pernah terlintas dalam pikirku untuk menganggapmu lebih dari seorang kakak. Aku menginginkanmu lebih. Aku ingin kau menjadi imamku, dan ayah bagi anak-anakku kelak. Tetapi aku malu. Suatu senja aku coba tanyakan tentang seseorang yang ‘spesial’ dalam hidupmu. Dengan lepas kau bercerita bahwa ada seorang wanita yang kau cintai dalam hidupmu dan diapun mencintaimu. Tetapi kau tidak pernah lagi bertemu dengannya lantaran wanita itu kuliah diluar kota. Sungguh aku tidak tahu diri khan Abang?. Bagaimana bisa aku punya niat  memisahkan kau dengan wanita itu?. Aku malu Abang. Maafkan aku Abang ya?. Dulu, aku ingin sekali bertemu wanita itu dan memperkenalkan diriku seperti ini :
“Perkenalkan, saya Astiwi Pradini, adik Bang Syahid Maulana!”.
Dan aku akan bercerita padanya tentang abang. Tentang hari-hari yang kita lewati bersama. Sebelum merah cemburu terbit dari pipinya, aku akan meyakinkannya dengan mengatakan bahwa dia adalah satu dari sekian wanita yang beruntung di dunia ini. Maka kutitip kau padanya. Kuminta dia untuk menjagamu. Aku ingin menjadi adik yang baik buatmu. Sungguh!. Dan saat ini aku ingin duduk disampingmu dan bertanya “Abang, apakah Tiwi sudah menjadi adik yang baik buat Abang?”.
***
MINGGU KEEMPAT bulan Februari, kamis pagi, kau pamit ke kota bersama Edy. Kalian berangkat untuk membicarakan kelanjutan proposal fogging dengan pihak sponsor dan Dinas Kesehatan Kota. Kau antusias merancang program fogging tersebut demi melihat kasus DBD yang tinggi di kecamatan tempat kita KKN. Malamnya ketika briefing selesai makan malam, kau sempatkan diri memberitahu kami bahwa besok pagi kau dan Edy akan ke kota untuk membicarakan kelanjutan pihak sponsor dan Dinas Kesehatan Kota. “Doakan ya semoga proposal kita segera disetujui..” pintamu, yang serempak kami amini.
Paginya kau dan Edy bersiap berangkat. Pagi-pagi sekali bahkan sarapanpun belum tersaji. “Nanti kami sarapan di jalan saja” katamu pada teman-teman yang lain. Aku sempat kesal waktu itu. Kesal pada teman-teman yang piket memasak yang terlambat menyiapkan sarapan padahal semalam telah kau utarakan bahwa kau dan Edy akan ke kota. Duh, maafkan kami abang ya?.
“Jangan lupa oleh-oleh ya..?” Sri iseng menggodamu.
“InsyaAllah. Sri mau oleh-oleh apa? “ jawabmu dengan sebuah senyum.
“Tidak usah banyak-banyak. Ice Cream aja..” canda Sri dengan tawa yang semakin lebar.
“InsyaAllah..” jawabmu.
Aku tatap punggungmu dari belakang. Kau dan Edy menaiki sepeda motor Edy. Entah kenapa sepeninggalmu aku merasa ada sesuatu yang hilang. Semangatku untuk menjalani program-program posko memudar. Padahal pagi itu kami harus mendata jumlah anak usia sekolah yang Drop-Out (DO) karena keterbatasan ekonomi maupun sebab faktor lain. Selain itu, kami juga harus merampungkan data ibu hamil dan balita yang akan diimunisasi pekan depan. Maka ogah-ogahan aku beraktivitas pagi itu. Sekedar menemani Dewi dan teman-teman yang lain mengunjungi ibu-ibu hamil.
Hingga siang menjelang. Jam tanganku menunjuk angka 02.15 siang. Kamipun kembali ke posko, untuk merampungkan data-data yang terkumpul di posko. Sampai di posko, aku tidak melihat motor Edy yang biasa diparkir depan posko. Itu artinya kau belum pulang. Aku coba menelpon ke handphone-mu, tapi tidak diangkat. Mungkin sedang dalam perjalanan, pikirku.
Pukul 02.30 kau belum juga pulang. Aku dan teman-teman mulai khawatir. Biasanya, kalau ke kota atau ke kampus, paling telat jam 02.00 siang kau sudah kembali ke posko. Tetapi hari itu hingga menjelang sore kau belum juga pulang. Akupun menghubungimu lagi. Kali ini mailbox. Aku hendak menekan nomor handphone Edy ketika sebuah panggilan masuk menyapa handphone Nokia-ku.
“Ada apa Dy?” serbuku.
Belum ada suara apa-apa diseberang sana. Edy terdiam. Aku mulai was-was.
“Dy, ada apa?. Kenapa diam?”
Edy masih jua bisu. Samar-samar aku mendengar seniorku itu terisak. Hatiku mulai kalut.
“Dy, ada apa? Apa yang terjadi? Kenapa handphone abang gak aktif?” serbuku dengan suara yang semakin meninggi serta butir-butir air yang menyerbu sudut mataku.
Butir itu seketika tumpah ketika Edy menceritakan berita itu. Berita yang menjelma jarak antara aku dan kau kini. Berita yang membawaku hampir setiap minggu mengunjungi rumah sederhana di sebuah desa di pedalaman Lombok sana. Berita yang membuat hatiku meronta rindu memanggilmu dengan kata lima huruf itu. Aku merinduimu, Abangku. Sungguh!. Adakah kau merinduiku di sana?.
***
RUANG UGD RSUD KOTA PRAYA. Disanalah terakhir kulihat wajahmu. Pucat. Keterlambatan pertolongan medis membuatmu harus pergi. Kecelakaan tragis itu menjadi jalan kau menghadap-Nya.
“Sabar Tiwi ya. Kita harus merelakan Syahid pergi..” Edy yang tangan kirinya diperban mencoba menghiburku. Bening menetes dari sudut mata seniorku di kampus itu. Ia juga merasa kehilangan, sama sepertiku. Pada peristiwa tragis itu, Tuhan masih menyelamatkannya. Edy hanya mengalami patah tangan kiri. Sementara kau mengalami pendarahan serius dibagian belakang kepala akibat benturan dengan aspal setelah helm-mu terlempar ke pinggir jalan. Orang-orang melarikanmu ke rumah sakit. Tetapi Tuhan berkehendak lain. Nyawamu tak tertolong.
***
MALAM INI, aku kembali mengunjungi posko kita Bang. Rumah sederhana di pedalaman Lombok ini. Hanya inilah yang mampu aku lakukan saat ini ketika aku merindukanmu.  Melihat dan membaca tulisan tanganmu pada jadwal piket yang ditempel ditembok ruang tamu posko membuatku merasa dekat denganmu. Saat ini, aku sungguh merindukanmu. Seandainya aku bisa, aku ingin terbang ke atas sana. Menembus langit yang mendung. Bertemu Tuhan. Bukan untuk memintamu kembali dari-Nya. Sama sekali tidak!. Aku hanya ingin menitipkan salam buatmu melalui Dia. Salam rindu seorang adik untuk Abangnya di syurga.
Angin dingin menembus kulit leherku. Diluar mendung berubah rintik hujan. Gelas kecil yang tergeletak diatas kusen jendela tiba-tiba jatuh. Abang, kaukah itu?.

                                                                                                   Sweta, 01 Juli 2011
(Ditulis untuk ‘si Bona’ Nining Asnawanis. Hidup masih terlampau panjang. Maka tegarlah, melebihi karang!).
Terbit di Lombok Post, 10 Juli 2011

2 komentar:

  1. cerita ini membuat ku tertegun, membacanya pun tak berkedip

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks..
      Baru belajar nulis Mas. Jdi hasil blum terlalu bagus..

      Thanks for visit..

      Hapus