Syarif Husni's Greeting


Minggu, 05 Desember 2010

BEKU



Dingin. Semua membeku. Tidak terkecuali dirinya. Darahnya terasa membeku. Tubuhnya menggigil. Pagi-pagi sekali hujan mengguyur deras dari langit, mematikan hampir semua aktivitas manusia, termasuk dirinya.
Ia memandang ke arah barang dagangannya pagi itu. Barang yang sedari subuh ia ambil di pasar tradisional di kampung seberang yang akan ia jual di kampungnya. Ia khawatir kalau hujan terus-terusan mengguyur bumi, maka barang dagangannya pagi itu sudah dapat dipastikan tidak akan laku terjual. Kalau demikian maka ia akan merugi. Ia akan membayar barang-barang itu dari kantongnya sendiri, kantong yang hampir tak pernah berisi!. Ya, darimana ia akan dapatkan rupiah dengan kondisinya yang seperti itu?.
Barang-barang dagangan itupun ia ambil dari pedagang pasar dengan modal kepercayaan saja. Ia kemudian menjual barang-barang itu di kampungnya, dan uang dari hasil penjualan itulah yang akan ia pakai untuk membayar barang-barang itu keesokkan harinya. Dan pagi itu pun hujan. Deras sekali!. Harapannya pupus. Untuk kesekian kalinya, ia memandangi barang dagangannya..

Satu jam sudah hujan mengguyur bumi. Dan tanda-tanda kalau hujan akan reda belum terbaca sama sekali. Hatinya semakin galau. Bayangan Ani, sulungnya yang merengek meminta agar sepatunya yang sudah robek diganti dengan yang baru menggelebat dalam pikirannya. Belum lagi, kekhawatiran akan barang-barang dagangannya yang kemungkinan tidak akan terjual habis pagi itu, kian menambah gurat-gurat tua di wajah cantiknya. Terkadang ia merasa hidup sungguh tak adil. Tuhan pun bahkan tak pernah berpihak padanya, sekalipun!

 ***
Lima tahun yang lalu, hidupnya tidaklah seperti sekarang ini. Ia hidup berkecukupan dan bahagia untuk ukuran rata-rata masyarakat di kampungnya itu. Penghasilan Jaka, sang suami yang seorang supir bus antar kota cukup mampu memenuhi segala kebutuhan dirinya dan anak mereka. Jaka, yang walau hanya pulang sekali seminggu, selalu membawa uang yang cukup untuk keluarga kecil mereka. Candaan dan tawa Ani, yang saat itu baru berusia 4 tahun, semakin meramaikan dan membuat rumah tangga mereka bahagia. Ia ingat, saat itu ia sedang mengandung anak kedua mereka, saat-saat dimana seorang istri sangat membutuhkan dukungan dan perhatian dari sang suami. Ia membayangkan betapa bahagia keluarganya dengan hadirnya dua malaikat kecil mereka. Ia bisa membuka warung kecil depan rumah mereka untuk mengisi waktunya di rumah sementara Jaka mencari nafkah di luar. Ia membayangkan anak-anaknya, dan juga dirinya, menyambut Jaka pulang dengan senyum terindah mereka. Dan Jaka akan meraih dua malaikat kecilnya serta melepas rindu dengan sebuah kecupan manis dikeningnya. Ia merasa, dirinya adalah istri dan wanita paling bahagia di dunia!.

Akan tetapi, seiring waktu yang terus berlari, semua itu ternyata hanya sebuah ilusi. Ilusi yang dikisahkan oleh para pencerita riang yang selalu membuat ceritanya berakhir indah. Semuanya berubah!. Semua harap pupus. Jaka yang biasanya pulang ke rumah sekali seminggu, tiba-tiba belakangan jarang pulang. Kalaupun ia pulang, itupun hanya menengok Ani dan menyerahkan sedikit uang pada dirinya. Setelah itu ia akan pergi lagi. “Bus lagi banyak orderan!” katanya. Jadi untuk beberapa minggu ke depan suaminya akan jarang pulang. Dan wanita itu dapat memahami itu. Sebuah pemahaman yang benar-benar suci dan polos dari hati seorang wanita. Dan pemahaman itu seharusnya tiada patut tuk dikhianati, apalagi dicampakkan!. Ya, wanita itu memahami semuanya, tulus!. Karenanya, ia tak butuh penjelasan yang panjang, walau betapa ia ingin agar Jaka sudi mengelus perutnya yang kian membesar, atau sekedar bertanya pada dirinya kira-kira jaban bayi mereka laki atau perempuan. Ia benar-benar tak butuh penjelasan yang panjang, walau betapa ia ingin agar Jaka selalu disampingnya diusia kehamilannya yang seperti itu. Betapa ia butuh kasih sayang seorang suami, dan ia ingin dimengerti!. Akan tetapi, Jaka lebih memilih bus-busnya. Dan hari itu, dengan senyum, ia kembali melepas Jaka pergi....
Pernah suatu hari, ia meminta Jaka untuk menemaninya di rumah. Satu minggu saja!. Jaka bisa saja bilang ke Bosnya kalau istrinya sedang hamil besar, sehingga ia bisa diizinkan untuk tidak masuk kerja selama seminggu. Tetapi, lagi-lagi Jaka menolak, dengan memberinya janji untuk menengoknya lebih sering lagi : dua kali seminggu!. Dan ia pun memahaminya. Pemahaman yang belakangan ia sadari sebagai pemahaman yang terlalu naif dan polos. Ya, sungguh p-o-l-o-s !.

Hingga waktu kelahirannya pun tiba. Jaka, sang suami, yang berjanji untuk pulang, tidak juga menemuinya. Tidak tahukah Jaka kalau minggu itu ia akan melahirkan bayi mereka?. Dan lagi-lagi ia teramat baik kepada suaminya, ayah dari malaikat kecilnya. “Mungkin esok Jaka akan pulang. Menengok bayinya, serta mengajakku berbelanja pakaian bayi di pasar seberang” bathinnya. Betapa bahagia ia membayangkannya. Bersyukur ia diberikan suami seperti Jaka. Mampu memberinya kehidupan yang berkecukupan, ketika banyak teman-teman seangkatan suaminya yang masih menganggur di kampung itu.
Keesokkan harinya, Jaka tak jua pulang. Tidakkah Jaka ingin melihat betapa tampannya bayi mereka??. Tak tahukah Jaka bahwa hidung dan dagu bayinya sangat mirip sekali dengan hidung dan dagu dirinya?. Tak sabar rasanya ia ingin memberitahu Jaka kalau bayi mereka laki-laki, jaban bayi yang didambakan Jaka sejak kehamilannya yang pertama. Kali ini, sungguh ia ingin melihat senyum suaminya yang sudah lama tidak dilihatnya lagi. Senyum yang terenggut oleh rutinitasnya mencari nafkah keluarga...

***

Kembali ia memandangi barang dagangannya. Sesaat kemudian, sudut matanya ia arahkan ke luar rumah panggung sederhananya. Hujan masih deras. Bayangan Ani menggelebat dalam pikirannya...

***

Waktu terus berputar. Jam berganti hari. Dan haripun menautkan jari-jarinya ke pangkuan bulan. Satu bulan sudah Jaka tidak pernah pulang. Satu bulan sudah ia merindu!. Kadang air matanya menetes kala kerinduannya membuncah. Ia rindu suaminya. Kerinduan seorang istri. Rindu yang sangat!. Ia terkenang betapa Jaka menemani hari-harinya ketika ia mengandung dan melahirkan Ani, anak pertama mereka. Dan Jaka-lah orang pertama yang memberitahunya kalau bayi mereka perempuan, dan cantik. Jaka-lah yang memegang tangannya erat kala ia merintih kesakitan saat melahirkan. Dan ia menyadari, sungguh Jaka mencintainya, dan sungguh beruntungnya ia memiliki Jaka saat itu. Dan, sesaat kemudian, rindu itu berkelebat. Mempesona sekaligus mengiris sadis relungnya, membuatnya terluka...

Sang waktu sepertinya tidak mengenal kata istirahat. Satu bulan menanti, dengan sukma yang meronta untuk ditautkan rindunya, perlahan benih-benih kebencian menyemai sporanya. Ia mulai membenci suaminya. Benci yang muncul karena rindu yang dicampakkan!. Ia benci suaminya karena tidak pernah datang melihat bayi mereka. Tidak pernah memberinya kabar bilakah sesuatu yang buruk terjadi di luar sana. Tidak ada kabar sama sekali. Tidak ada tanda yang bisa dibaca sama sekali. Tidakkah Jaka merindukannya? Dan juga anak-anaknya??.

Hingga suatu ketika....
seorang anak tetangga, datang membawa sebuah amplop. Amplop yang berisi uang dan secarik kertas bertinta hitam. Goresan tangan yang sangat dikenalnya. Goresan tangan itulah yang sejak dulu, waktu SMA, selalu ditunggu-tunggunya. Goresan tangan yang membuat dunia remajanya berbunga-bunga saat itu dan hampir selalu ia nanti kedatangannya. Dan kemudian ia akan membacanya sembunyi-sembunyi dikamar tidurnya. Bilakah kerinduannya datang, maka ia akan membaca tulisan tangan itu hingga berpuluh-puluh kali, sampai ia terlelap bersama mimpi bertemu sang pujangga pemilik goresan itu, Jaka.
Tetapi, itu dulu. Ketika pertama kali ia mengenal Jaka di bangku kelas 2 SMA. Dan tulisan yang ia baca saat ini adalah goresan tangan dari orang yang sama, pangeran SMA-nya dan ayah anak-anaknya saat ini, Jaka. Namun ada yang berbeda. Tulisan itu sama sekali tidak membuat dirinya berbunga-bunga. Sama sekali tidak!. Hanya kebencian yang dihembuskannya. Tangisan. Air mata. Dan ia seakan tidak percaya dengan apa yang dibacanya. Tegakkah Jaka melakukan ini semua kepada dirinya?. Dan juga bayinya, yang bahkan belum pernah melihat wajah ayahnya?.

Dalam surat itu, Jaka menyatakan bahwa Jaka akan menceraikannya. Ya, cerai. Sesuatu yang halal tetapi dibenci Tuhan. Dan yang membuat ia tidak habis pikir, Jaka tidak mengemukakan alasan yang jelas akan niatnya itu. Jaka hanya berjanji kalau kelak ia akan tetap menjenguk dan menafkahi anak-anaknya. Ia memberi balasan. Ia menghiba agar Jaka kembali. Ia meyakinkan Jaka bahwa mereka akan bahagia. Apalagi bayi kedua mereka laki-laki, jaban bayi yang selalu didamba Jaka. Akan tetapi, Jaka tetap pada keputusannya. Hingga perceraian itupun benar-benar terjadi...

***

Lima tahun berlalu. Lima tahun pula Jaka tak pulang. Bukan untuk dirinya, tetapi untuk anak-anaknya. Anak-anak yang merindu ayahnya. Lima tahun sudah, Jaka membohongi dirinya, dan juga anak-anaknya. Dan lima tahun sudah ia hidup dalam kebencian kepada lelaki. Ya, ia benci l-e-l-a-k-i. Lelaki-lah yang pernah memberinya harapan, kemudian mencampakkannya. Itu sebabnya, hingga saat ini, ia tiada pernah mau membuka (lagi) hatinya untuk lelaki. Ia yakinkan diri bahwa ia bisa bertahan hidup tanpa lelaki!. Baginya, semua lelaki sama. Baginya, semua lelaki adalah Jaka!. Jaka yang telah merenggut senyumnya, dan membawanya pergi, serta mencampakkannya entah di rimba mana....

***

Hari masih hujan. Dingin. Beku. Sedingin dan sebeku hatinya.....






(Syarif Husni, 04 Nov' 2010, pagi saat Bima diguyur hujan..)

3 komentar:

  1. Asslm...bagi yang membaca, mhon di comment ya. mau pedas, manis, pahit, asam (atau apapun "rasa" commentnya, gp2....hehe..)

    BalasHapus