Syarif Husni's Greeting


Minggu, 14 Juli 2013

Sunset Bersama Rosie

#Mengurai makna ‘cinta’ dan ‘kesempatan’ dengan pemahaman baru dan berbeda#
Sunset Bersama Rosie. Inilah novel ke sekian Tere-Liye yang saya tuntaskan, setelah sebelumnya juga menuntaskan novel Tere-Liye lainnya, Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin.

Sunset Bersama Rosie adalah novel ke sekian Tere-Liye yang juga sukses bikin orang nelangsa gak karuan. Tere-Liye memang selalu begitu. Selalu mengesankan ketika menulis. Selalu membuat orang menangis ketika membaca tulisan-tulisannya. Penulis yang satu ini barangkali memiliki hati yang sangat peka, atau supersensitif, sehingga ketika menulis selalu mampu menyentuh hati orang lain, sekeras apapun hati itu.

Membaca Sunset Bersama Rosie, berarti membaca kisah sebuah keluarga kecil di Gili Trawangan, Lombok. Sebuah kisah yang telah berpilin sejak berpuluh-puluh tahun silam. Sejak Tegar, Rosie, belum mengenal yang namanya cinta. Sejak mereka masih berseragam putih merah.

Namun semua berubah dua puluh tahun kemudian. Sebuah cerita yang berbeda. Sebuah peristiwa yang mengajarkan kita tentang arti kesempatan. Sama seperti pemahaman yang didapatkan Tegar. Bahwa sebenarnya tangan kita kuasa menciptakan kesempatan itu, sebelum kita menyerahkan Dia yang menciptanya untuk kita.

Rosie, anak seorang pengusaha resor di Gili Trawangan, Lombok, bersahabat baik dengan Tegar, anak dari Gili yang sama. Sejak kecil. Sejak SD. Berangkat sekolah samaan. Bermain hujan samaan. Mandi di pantai samaan. Persahabatan yang indah. Bahkan sejak mereka belum paham akan sejuntai perasaan yang belakangan bernama cinta.

Persahabatan itu berlanjut hingga mereka kuliah ke luar Gili Trawangan, tepatnya di Bandung. Sesekali mereka memanfaatkan liburan semester untuk kembali ke Gili Trawangan. Kembali melakukan aktivitas-aktivitas masa kecil dahulu. Bermain pantai, hujan-hujanan. Memandangi sunset nan indah. Mendaki Gunung Rinjani. Memetik Edelweis. Memandangi keindahan Segara Anakan.

Namun kebersamaan itu hancur seketika ketika seseorang masuk dalam hubungan persahabatan itu. Nathan, pemuda yang dikenalkan Tegar kepada Rosie, sempurna mengambil alih nakhoda persahabatan itu. Dua bulan mengenal Rosie, Nathan menyatakan perasaannya. Dan Rosie, tanpa mengerti perasaan Tegar, sahabat kecilnya yang telah menemani hari-harinya selama dua puluh tahun, menerima uluran perasaan yang diutarakan Nathan. Pernyataan cinta itu diungkapkan ketika mereka bertiga mendaki Rinjani. Tepat saat purnama sempurna di langit Lombok. 

Dan pernyataan Nathan hanya beda satu malam dengan pernyataan yang akan diutarakan Tegar. Tegar berniat menyatakan perasaan itu kepada Rosie keesokkan harinya, saat mentari sempurna menyapa Segara Anakan. Namun, apa daya, ketika kesempatan itu lebih dulu direnggut Nathan, sahabat yang ia kenalkan sendiri ke Rosie dua bulan sebelumnya. Maka, sempurnalah sekeping hati itu hancur, berkeping-keping. Dua bulan yang dimiliki Nathan setara dengan dua puluh tahun yang dimiliki Tegar. Beberapa kali Tere-Liye mengulang kalimat itu!

Singkat cerita, sejak menyaksikan pernyataan dan penerimaan perasaan itu, Tegar memutuskan menghilang dari kehidupan Rosie, orang yang dicintainya sejak dua puluh tahun yang lalu. Sebuah rentang waktu yang cukup lama untuk memendam perasaan, bukan? Tegar bahkan tidak tahu bahwa Rosie pun menyadari perasaan (yang sama) sesaat sebelum acara pernikahannya dengan Nathan. Dan ia membatalkan acara pernikahan tersebut demi mengharapkan Tegar (akan) kembali. Namun yang ditunggu, tak jua datang dan menghilang tanpa kabar. Tegar memutuskan untuk membenamkan diri dalam kesibukan ibu kota. Ia memutuskan bekerja pada sebuah perusahaan besar di Jakarta, selepas kuliah.

“Pagi, berarti satu malam dengan mimpi-mimpi yang menyesakkan terlewati lagi; malam-malam panjang, gerakan tubuh resah, kerinduan, dan helaan napas tertahan”

Inilah kalimat yang dituliskan Tere-Liye, berulang-ulang. Bagaimana Tegar melewatkan malam-malamnya di sebuah kamar kontrakkan di ibu kota. Sesak oleh masa lalu. Sesak oleh kesempatan yang tak sempat ia raih. Sesak oleh dua bulan Nathan yang setara dengan dua puluh tahun miliknya!

Lima tahun berlalu. Tanpa maksud apa-apa, Tegar tak sengaja menghubungi Oma, ibu Rosie. Oma adalah satu-satunya orang yang mampu ‘membaca’ perasaan Tegar. Oma pulalah orang yang memberitahu Rosie akan perasaan Tegar sesaat sebelum acara pernikahannya dengan Nathan. Acara pernikahan yang ditunda enam bulan untuk memastikan Tegar (akan) kembali. Namun Tegar kembali lima tahun kemudian, ketika Rosie telah sempurna menjadi ibu dari empat kuntum bunga yang cantik; ketika ia hadir dengan pemahaman cinta yang baru dan berbeda!

Lima tahun adalah waktu yang cukup bagi keluarga kecil itu untuk menghadirkan empat kuntum bunga yang cantik : Anggrek, Sakura, Jasmine, dan Lili. Ya, anak-anak Rosie dan Nathan. Benar-benar keluarga yang bahagia. (Walau awalnya Rosie lebih mencintai Tegar dibandingkan Nathan, sejak Oma menceritakan semburat perasaan Tegar dihari pernikahan itu). Dan lima menit kejadian di Jimbaran, Bali, meluluhlantakkan semuanya. Bom di sebuah kafe di Jimbaran Bali, yang merenggut nyawa Nathan, sempurna meluluhlantahkan kepingan kebahagiaan keluarga kecil itu, dan memanggil Tegar kembali hadir dalam kehidupan Rosie, walau dengan pemahaman cinta yang baru dan berbeda.

Sepeninggal Nathan, Rosie mengalami depresi berat dan harus dirawat di sebuah shelter (semacam balai terapi mental) di Denpasar. Dua tahun Rosie menjalani masa-masa sulit, masa-masa pemulihan dari trauma dan depresi berat. Dan dua tahun itu pulalah, Tegar menjadi paman, ayah, ibu, sahabat, dan semua profesi yang ia bisa lakoni bagi anak-anak Rosie. Ia memutuskan untuk menunda pernikahannya dengan Sekar, gadis cantik yang ia kenal di ibu kota, dan meninggalkan pekerjaannya di ibu kota untuk merawat ke empat anak-anak Rosie dan Nathan. Bukankah itu sebuah bukti cinta yang tak terbantah? Bagaimana bisa seseorang yang menyaksikan cintanya direbut sahabatnya sendiri dan ia pergi dengan hati yang tercabik-cabik, lima tahun kemudian, saat lukanya belum sempurna sembuh, ia harus kembali untuk merawat anak orang yang merebut cinta itu; mengambil kesempatan darinya? 

Tegar berkelit bahwa ia hadir dengan pemahaman cinta yang baru dan berbeda.

Dua tahun, selama Rosie menjalani pengobatan di shelter, Tegar mengambil alih bisnis resor di Gili Trawangan, dan menjelma Om bagi Anggrek, Uncle bagi Sakura, dan Paman bagi Jasmine. Lili belum bisa bicara. Jadi gadis kecil itu belum tahu akan memanggil Tegar dengan sebutan apa (bukan Om, Uncle, ataupun Paman). Selama rentang waktu itu, Tegar menjadi tumpuan anak-anak Rosie : mengantar mereka sekolah, menemani makan, mendongeng sebelum tidur, mengambilkan rapor, dll. Dan dua tahun adalah waktu yang lebih dari cukup bagi anak-anak itu untuk mencintai Tegar melebihi apa pun!

Sepanjang proses itu pula, Tegar terkadang teringat akan masa-masa kecilnya bersama Rosie. Masa-masa yang ia ingini tuk dilewati bersama Rosie sepanjang hidupnya. Masa-masa yang tak pernah ia dapatkan, atas nama ‘kesempatan’ yang lepas! 

Jikalau ingin melihat cinta yang benar-benar tulus dan bening, maka lihatlah dalam mata anak-anak. Itulah yang dialami Tegar. Setelah menjalani perawatan dua tahun, Rosie akhirnya dinyatakan sembuh dan dibolehkan pulang ke Gili Trawangan. Kabar baik sekaligus kabar buruk. Baik karena Rosie akan kembali berkumpul dengan anak-anaknya. Buruk karena setelah Rosie kembali, itu artinya Tegar harus pulang ke Jakarta, melanjutkan janji kehidupan baru bersama Sekar, gadis yang sangat mencintainya. Dan cinta putih itu diperlihatkan anak-anak Rosie ketika Tegar mengutarakan niat kepulangannya ke Jakarta. Sakura merajuk dan menangis di kamarnya, semalaman. Jasmine juga. Lili yang belum juga bisa bicara ikut-ikutan bersungut-sungut, tidak merelakan kepergian Paman Tegarnya. Hanya Anggrek, si sulung, yang mulai memahami kondisi itu, dan mau ‘berdamai’ dengan keadaan.

***
Bagaimanakah kisah selanjutnya? Apakah Tegar tetap memutuskan meninggalkan Rosie dan keempat anak-anaknya ke Jakarta; melanjutkan janji kehidupan baru bersama Sekar? Apakah akhirnya ‘kesempatan’ itu berpihak pada perasaan yang dipendam Tegar selama dua puluh tahun? Apakah Anggrek, Sakura, Jasmine, dan Lili masih memanggil Tegar dengan panggilan Om, Uncle, Paman, ataukah Papa Tegar?
Ah, kawan; jikalau punya sedikit waktu luang, maka bacalah novel ini. Cerita sederhana, namun akan membuatmu hanyut terbawa suasana. Saya pun ikut merasakan malam-malam yang dilalui Tegar. Malam dengan mimpi-mimpi yang menyesakkan; malam-malam panjang dengan gerakan tubuh resah, kerinduan, dan helaan napas tertahan. Kita juga akan belajar tentang makna cinta dan kesempatan dengan pemahaman yang baru dan berbeda!

Selamat membaca!

Bima, 2 Januari 2013/14.30-16.10


Note :
Di sampul belakang buku, kau akan temukan tulisan ini :

Sebenarnya, apakah itu perasaan? Keinginan? Rasa memiliki? Rasa sakit, gelisah, sesak, tidak bisa tidur, kerinduan, kebencian? Bukankah dengan berlalunya waktu semuanya seperti gelas kosong yang berdebu, begitu-begitu saja, tidak istimewa. Malah lucu serta gemas saat dikenang.
Sebenarnya, apakah pengorbanan memiliki harga dan batasan? Atau priceless, tidak terbeli dengan uang, karena hanya kita lakukan untuk sesuatu yang amat spesial di waktu yang juga spesial? Atau boleh jadi gratis, karena kita lakukan saja, dan selalu menyenangkan untuk dilakukan berkali-kali.
Sebenarnya, siapakah yang selalu pantas kita sayangi?
Sebenarnya, apakah itu arti 'kesempatan'? Apakah itu makna 'keputusan'?
Bagaimana mungkin kita terkadang menyesal karena sebuah 'keputusan' atas sepucuk 'kesempatan'?
Sebenarnya, dalam hidup ini, ada banyak sekali pertanyaan tentang perasaan yang tidak pernah terjawab. Sayangnya, novel ini juga tidak bisa memberikan jawaban pasti atas pertanyaan-pertanyaan itu. Novel ini ditulis untuk menyediakan pengertian yang berbeda, melalui sebuah kisah di pantai yang elok. Semoga setelah membacanya, kita akan memiliki satu ruang kecil yang baru di hati, mari kita sebut dengan kamar 'pemahaman yang baru'.


Keren kan Bang Tere? :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar