Syarif Husni's Greeting


Minggu, 14 Juli 2013

3 Jenis Puasa Menurut Orang Bima (Dou Mbojo)

Bajo Pulo, Sape-Bima, NTB (gambar diambil dari Komunitas Jalan Setapak)

Alhamdulillah, segala puja hanya milik Allah SWT, Tuhan yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Dialah yang berkenan memberikan izin diri kita bertemu Ramadhan tahun ini. Semoga Allah memberi kesempatan untuk membersamai Ramadhan hingga akhir, dan memberi juga kesempatan untuk bersua kembali di tahun-tahun mendatang.
Ramadhan adalah tamu agung yang selalu ditunggu oleh Rasulullah dan para sahabat. Ketika Ramadhan tiba, Rasulullah SAW selalu menyemangati/memotivasi para sahabat dengan keutamaan-keutamaan Ramadhan. Bahwa Ramadhan adalah bulan diijabahnya doa-doa. Ramadhan adalah bulan pengampunan dan pembebasan dari api neraka. Ramadhan adalah bulan dilipatgandakannya pahala. Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Quranul Kariim. Ramadhan adalah bulan yang didalamnya terdapat malam yang mulia, dan motivasi-motivasi lainnya sehingga tak seorang pun dari para sahabat yang melalaikan kesempatan menghiasi Ramadhan dengan amal-amal mulia.
Dan bagi kita, umat Muhammad SAW, perintah Ramadhan menjadi perintah yang sakral dan niscaya adanya. Seruan untuk berpuasa dalam QS. 2 : 183 menjadi landasan utama pelaksanaan perintah ini, sama halnya seruan perintah shalat, zakat, dan perintah wajib lainnya. Oleh sebab, berlomba-lombalah kita dalam menunaikan perintah puasa. Berlomba untuk menjadi yang terbaik, yang terbanyak amalnya, sehingga pada akhirnya mendapat gelar insan yang muttaqiin

Nah, terkait puasa Ramadhan, saya teringat ketika melewati puasa di kampung masa-masa kecil dahulu. Setelah melakukan proses “balas dendam”, saya (dan teman-teman yang lain) biasanya akan berlari berhamburan menuju masjid untuk shalat Magrib (walau ketika berada dalam shaf shalat, kami menjelma menjadi “pengacau” tanpa terkecuali, hehe). Bakda Magrib adalah waktunya kami mengaji dan mendengarkan nasehat-nasehat guru ngaji. Dari nasehat-nasehat singkat inilah, hingga saat ini otak saya masih menyimpan dengan rapi sebuah nasehat “unik” guru ngaji saya dahulu, yaitu terkait dengan sikap manusia terhadap perintah puasa Ramadhan.
Menurut guru ngaji saya dahulu, ditilik dari sikap manusia terhadap puasa, maka puasa dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :

Pertama, Puasa Ma Mbou (Puasa Pamer); adalah puasa yang dilakukan oleh mereka-mereka yang pengen pamer. Indikatornya adalah (biasanya) orang-orang yang masuk kategori ini selalu menunjukkan sesuatu yang berkaitan dengan ibadah puasanya yang cenderung dibesar-besarkan, atau bahasa kerennya sekarang mungkin lebay, hehe. Jikalau ia sedang nongkrong bersama teman-temannya (biasanya anak muda nih), maka habis tanah disamping kiri-kanannya oleh ludah. Meludah dengan semangat agar orang lain tahu kalau dia sedang berpuasa. Dan percaya atau tidak, ketika saya mudik tahun lalu, saya masih menemukan pola perilaku seperti ini, padahal menelan ludah itu sama sekali tidak membatalkan puasa. Atau suatu ketika kita akan menemukan seorang pemuda yang begitu bersemangat ibadahnya, saking semangatnya, sampai-sampai ia menunaikan shalat sunnah bakdiyah subuh, padahal tidak ada shalat sunnah bakda subuh. Usut punya usut, ternyata saat itu ada si Bapak yang anak gadisnya ditaksir oleh si pemuda (yang jelas bukan saya, hehe). Dan masih banyak kasus-kasus lain yang masih kita temukan di kampung kita. Puasa yang dilakoni seperti itu disebut Puasa Ma Mbou, yaitu puasa karena ingin diketahui oleh orang lain kalau yang bersangkutan sedang berpuasa!

Kedua, Puasa Ma Mbai (Puasa Busuk); yaitu puasa yang tidak menghasilkan apa-apa kecuali haus dan lapar saja. Puasa macam begini senada dengan peringatan Rasulullah SAW dalam haditsnya :
“Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya melainkan lapar dan haus saja” (HR. Ath Thabrani).
Lalu apa indikator dari puasa jenis ini?
Indikatornya sebenarnya gampang diamati. Beberapa diantaranya ialah ia berpuasa, tetapi gosip jalan terus. Ia berpuasa, tetapi ghibah dan membicarakan kejelekan orang lain pantang ditinggalkan (dan biasanya nih, pelakunya adalah ibu-ibu..hehe). Coba kita amati kalau ibu-ibu sudah ngumpul siang hari Ramadhan, entah ada acara arisan atau sekedar ngumpul ngeo hudu, maka menu wajibnya adalah gosip. Urusan tetangga dekat hingga tetangga jauh diomongin semua, mumpung ngumpul, hehe. Selain itu, pelaku puasa jenis ini juga adalah mereka yang berpuasa tetapi senang berbohong, memperdaya orang lain dengan kata-kata manis tak berbuah, atau suka berbicara kotor (ingat, kalau di kampung kita, masih banyak orang yang begitu enteng melempar Ba’a. Kalau sudah begitu, semua kamus kosa kata “kotor” Bima dijamin keluar tuh, sampai-sampai kakek buyut yang telah lama almarhum diungkit-ungkit, semua disapu habis. Iya gak? hehe). Padahal Rasul SAW telah mengingatkan dalam haditsnya :
"Barangsiapa yang tidak meninggalkan kata-kata dusta dan perbuatan buruk, maka Allah tidak memerlukan ia meninggalkan makan dan minumnya." (HR. Bukhari). 
Bisa jadi penyebabnya adalah ketidakpahaman akan hal itu. Namun mau tidak mau, suka tidak suka, kita sering menjumpai hal semacam itu di kampung. Dan masih banyak lagi perilaku-perilaku yang bisa mengurangi atau bahkan membatalkan pahala puasa seseorang sehingga pada akhirnya yang bersangkutan tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya. Maka, dou mbojo menyebutnya Puasa Ma Mbai (Puasa Busuk).

Terakhir, Puasa Ma Mbua (Puasa yang Berbuah); yaitu puasa yang berbuah pahala pada akhirnya; puasa yang menjadikan pelakunya meraih gelar Muttaqiin (orang yang bertakwa). Penjelasan gampangnya mungkin seperti ini :
Anggaplah kita sedang menanam mangga. Tanaman itu kita rawat dengan sebaik mungkin. Kita sirami, pupuk, dan siangi dengan baik. Hingga kemudian mangga tersebut berbuah, dan bisa kita nikmati buahnya. Ya, barangkali mangga yang kita tanam adalah mangga madu, jadi hasil yang akan kita petik pun semanis madu juga..hehe.
Jadi, puasa jenis ini dilakoni oleh mereka yang betul-betul terpanggil oleh perintah di Qs.Al-baqarah ayat 183 tersebut. Mereka yang tidak saja kerongkongan, perut, dan farjinya yang berpuasa, tetapi juga mereka yang mem-puasa-kan seluruh anggota badannya. Hatinya berpuasa. Matanya berpuasa. Telinganya berpuasa. Lidahnya berpuasa. Kaki tangan dan segenap anggota badan yang lain ikut berpuasa. Mereka juga jauh dari memfitnah, ghibah, gosip, dan semua perbuatan yang dilakoni oleh mereka yang berada pada jenis puas kedua di atas. Mereka yang selalu mengisi hari-harinya dengan amal-amal kebaikan dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. Merekalah pelaku puasa jenis ini, Puasa Ma Mbua.

Nah, itulah sekilas 3 jenis puasa menurut Dou Mbojo. Tinggal kita muhasabah diri, puasa kita termasuk jenis yang mana ya? Jangan-jangan jenis pertama, Puasa Ma Mbou? Ceritanya lagi caper nih, sama si dia and si calon mertua :)

Sebagai tambahan, note diatas saya tulis sembari saya menunggu rendaman cucian saya. Niatnya hanya iseng menuliskannya saja. Namun adakah hikmahnya? Ada, yaitu :

1.  Mengingatkan kita sebagai generasi Dana Mbojo bahwa Bima memerlukan banyak da’i (terutama dipedalaman dan pelosok) untuk meluruskan pemahaman-pemahaman yang masih melenceng. Kalau mau jujur, pemahaman-pemahaman melenceng masih sangat banyak dikalangan masyarakat kita. Maka, tugas saya, antum/na semua untuk meluruskannya.
2.  Mengingatkan kita kembali akan mutiara nasehat orang tua kita zaman dahulu. Tak bisa kita pungkiri, banyak sudah filosofi-filosofi Mbojo yang saat sekarang ini tak lagi kita pahami, dan terlupakan, padahal sebagian besar filosofi-filosofi hidup tersebut bersumber dari Al-Quran-Hadits.
So, ambil hikmahnya, tinggalkan buruknya. Kalembo ade..

Bumi Selaparang Asri, 14/07/2013 (04 Ramadhan 1434 H)
Footnote :
*Ngeo hudu : aktivitas mencari kutu. Kaum ibu di Bima (biasanya di pelosok) seringkali mengisi waktu luangnya dengan aktivitas mencari kutu kepala. Dua orang atau lebih saling mencari kutu kepala di sarangge atau halaman rumah panggung mereka.
*Ba’a : kutukan atau sumpah serapah, biasanya menggunakan kata-kata kotor.

1 komentar:

  1. Alhamdulilah, mengingatkan "ngoa ra tei dou ma tua ntoi na".. iya, ini dulu begitu jelas di sampaikan saat ceramah, di kampung dan kadang di sekolah juga..

    puasa ma mbua pala ma tahoo... heee

    BalasHapus