![]() | ||||||||
Bajo Pulo, Sape-Bima, NTB (gambar diambil dari Komunitas Jalan Setapak) |
Alhamdulillah,
segala puja hanya milik Allah SWT, Tuhan yang Maha Pengasih Maha Penyayang.
Dialah yang berkenan memberikan izin diri kita bertemu Ramadhan tahun ini.
Semoga Allah memberi kesempatan untuk membersamai Ramadhan hingga akhir, dan
memberi juga kesempatan untuk bersua kembali di tahun-tahun mendatang.
Ramadhan
adalah tamu agung yang selalu ditunggu oleh Rasulullah dan para sahabat. Ketika
Ramadhan tiba, Rasulullah SAW selalu menyemangati/memotivasi para sahabat
dengan keutamaan-keutamaan Ramadhan. Bahwa Ramadhan adalah bulan diijabahnya
doa-doa. Ramadhan adalah bulan pengampunan dan pembebasan dari api neraka. Ramadhan
adalah bulan dilipatgandakannya pahala. Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Quranul
Kariim. Ramadhan adalah bulan yang didalamnya terdapat malam yang mulia, dan
motivasi-motivasi lainnya sehingga tak seorang pun dari para sahabat yang
melalaikan kesempatan menghiasi Ramadhan dengan amal-amal mulia.
Dan
bagi kita, umat Muhammad SAW, perintah Ramadhan menjadi perintah yang sakral
dan niscaya adanya. Seruan untuk berpuasa dalam QS. 2 : 183 menjadi landasan
utama pelaksanaan perintah ini, sama halnya seruan perintah shalat, zakat, dan
perintah wajib lainnya. Oleh sebab, berlomba-lombalah kita dalam menunaikan
perintah puasa. Berlomba untuk menjadi yang terbaik, yang terbanyak amalnya,
sehingga pada akhirnya mendapat gelar insan yang muttaqiin.
Nah,
terkait puasa Ramadhan, saya teringat ketika melewati puasa di kampung
masa-masa kecil dahulu. Setelah melakukan proses “balas dendam”, saya (dan
teman-teman yang lain) biasanya akan berlari berhamburan menuju masjid untuk
shalat Magrib (walau ketika berada dalam shaf shalat, kami menjelma menjadi “pengacau”
tanpa terkecuali, hehe). Bakda Magrib
adalah waktunya kami mengaji dan mendengarkan nasehat-nasehat guru ngaji. Dari nasehat-nasehat
singkat inilah, hingga saat ini otak saya masih menyimpan dengan rapi sebuah
nasehat “unik” guru ngaji saya dahulu, yaitu terkait dengan sikap manusia
terhadap perintah puasa Ramadhan.
Menurut
guru ngaji saya dahulu, ditilik dari sikap manusia terhadap puasa, maka puasa
dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
Pertama,
Puasa Ma Mbou (Puasa Pamer);
adalah puasa yang dilakukan oleh mereka-mereka yang pengen pamer. Indikatornya adalah (biasanya) orang-orang yang masuk
kategori ini selalu menunjukkan sesuatu yang berkaitan dengan ibadah puasanya
yang cenderung dibesar-besarkan, atau bahasa kerennya sekarang mungkin lebay, hehe. Jikalau ia sedang nongkrong
bersama teman-temannya (biasanya anak muda nih), maka habis tanah disamping
kiri-kanannya oleh ludah. Meludah dengan semangat agar orang lain tahu kalau
dia sedang berpuasa. Dan percaya atau tidak, ketika saya mudik tahun lalu, saya
masih menemukan pola perilaku seperti ini, padahal menelan ludah itu sama
sekali tidak membatalkan puasa. Atau suatu ketika kita akan menemukan seorang
pemuda yang begitu bersemangat ibadahnya, saking semangatnya, sampai-sampai ia
menunaikan shalat sunnah bakdiyah subuh, padahal tidak ada shalat sunnah bakda
subuh. Usut punya usut, ternyata saat itu ada si Bapak yang anak gadisnya
ditaksir oleh si pemuda (yang jelas bukan saya, hehe). Dan masih banyak
kasus-kasus lain yang masih kita temukan di kampung kita. Puasa yang dilakoni
seperti itu disebut Puasa Ma Mbou, yaitu puasa karena ingin diketahui oleh orang
lain kalau yang bersangkutan sedang berpuasa!
Kedua,
Puasa Ma Mbai (Puasa Busuk);
yaitu puasa yang tidak menghasilkan apa-apa kecuali haus dan lapar saja. Puasa macam
begini senada dengan peringatan Rasulullah SAW dalam haditsnya :
“Betapa banyak
orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya melainkan
lapar dan haus saja” (HR. Ath Thabrani).
Lalu apa indikator dari
puasa jenis ini?
Indikatornya sebenarnya
gampang diamati. Beberapa diantaranya ialah ia berpuasa, tetapi gosip jalan
terus. Ia berpuasa, tetapi ghibah dan membicarakan kejelekan orang lain pantang
ditinggalkan (dan biasanya nih, pelakunya adalah ibu-ibu..hehe). Coba kita
amati kalau ibu-ibu sudah ngumpul siang hari Ramadhan, entah ada acara arisan
atau sekedar ngumpul ngeo hudu, maka
menu wajibnya adalah gosip. Urusan tetangga dekat hingga tetangga jauh
diomongin semua, mumpung ngumpul, hehe. Selain itu, pelaku puasa jenis ini juga
adalah mereka yang berpuasa tetapi senang berbohong, memperdaya orang lain
dengan kata-kata manis tak berbuah, atau suka berbicara kotor (ingat, kalau di
kampung kita, masih banyak orang yang begitu enteng melempar Ba’a. Kalau sudah begitu, semua kamus
kosa kata “kotor” Bima dijamin keluar tuh, sampai-sampai kakek buyut yang telah
lama almarhum diungkit-ungkit, semua
disapu habis. Iya gak? hehe). Padahal Rasul SAW telah mengingatkan dalam
haditsnya :
"Barangsiapa yang tidak meninggalkan kata-kata dusta dan
perbuatan buruk, maka Allah tidak memerlukan ia meninggalkan makan dan
minumnya." (HR. Bukhari).
Bisa jadi
penyebabnya adalah ketidakpahaman akan hal itu. Namun mau tidak mau, suka tidak
suka, kita sering menjumpai hal semacam itu di kampung. Dan masih banyak lagi
perilaku-perilaku yang bisa mengurangi atau bahkan membatalkan pahala puasa
seseorang sehingga pada akhirnya yang bersangkutan tidak mendapatkan apa-apa
dari puasanya. Maka, dou mbojo
menyebutnya Puasa Ma Mbai (Puasa
Busuk).
Terakhir,
Puasa Ma Mbua (Puasa yang Berbuah); yaitu
puasa yang berbuah pahala pada akhirnya; puasa yang menjadikan pelakunya meraih
gelar Muttaqiin (orang yang
bertakwa). Penjelasan gampangnya mungkin seperti ini :
Anggaplah
kita sedang menanam mangga. Tanaman itu kita rawat dengan sebaik mungkin. Kita sirami,
pupuk, dan siangi dengan baik. Hingga kemudian mangga tersebut berbuah, dan
bisa kita nikmati buahnya. Ya, barangkali mangga yang kita tanam adalah mangga
madu, jadi hasil yang akan kita petik pun semanis madu juga..hehe.
Jadi,
puasa jenis ini dilakoni oleh mereka yang betul-betul terpanggil oleh perintah
di Qs.Al-baqarah ayat 183 tersebut. Mereka yang tidak saja kerongkongan, perut,
dan farjinya yang berpuasa, tetapi juga mereka yang mem-puasa-kan seluruh
anggota badannya. Hatinya berpuasa. Matanya berpuasa. Telinganya berpuasa. Lidahnya
berpuasa. Kaki tangan dan segenap anggota badan yang lain ikut berpuasa. Mereka
juga jauh dari memfitnah, ghibah, gosip, dan semua perbuatan yang dilakoni oleh
mereka yang berada pada jenis puas kedua di atas. Mereka yang selalu mengisi
hari-harinya dengan amal-amal kebaikan dan menghidupkan malam-malamnya dengan
ibadah. Merekalah pelaku puasa jenis ini, Puasa
Ma Mbua.
Nah,
itulah sekilas 3 jenis puasa menurut Dou Mbojo. Tinggal kita muhasabah diri, puasa
kita termasuk jenis yang mana ya? Jangan-jangan jenis pertama, Puasa Ma Mbou? Ceritanya lagi caper nih,
sama si dia and si calon mertua :)
Sebagai tambahan, note
diatas saya tulis sembari saya menunggu rendaman cucian saya. Niatnya hanya
iseng menuliskannya saja. Namun adakah hikmahnya? Ada, yaitu :
1. Mengingatkan kita sebagai generasi Dana
Mbojo bahwa Bima memerlukan banyak da’i (terutama dipedalaman dan pelosok)
untuk meluruskan pemahaman-pemahaman yang masih melenceng. Kalau mau jujur,
pemahaman-pemahaman melenceng masih sangat banyak dikalangan masyarakat kita. Maka,
tugas saya, antum/na semua untuk meluruskannya.
2.
Mengingatkan kita kembali akan mutiara
nasehat orang tua kita zaman dahulu. Tak bisa kita pungkiri, banyak sudah
filosofi-filosofi Mbojo yang saat sekarang ini tak lagi kita pahami, dan
terlupakan, padahal sebagian besar filosofi-filosofi hidup tersebut bersumber
dari Al-Quran-Hadits.
So, ambil hikmahnya,
tinggalkan buruknya. Kalembo ade..
Bumi Selaparang Asri, 14/07/2013
(04 Ramadhan 1434 H)
Footnote :
*Ngeo
hudu
: aktivitas mencari kutu. Kaum ibu di Bima (biasanya di pelosok) seringkali
mengisi waktu luangnya dengan aktivitas mencari kutu kepala. Dua orang atau
lebih saling mencari kutu kepala di sarangge
atau halaman rumah panggung mereka.
*Ba’a
: kutukan atau sumpah serapah, biasanya menggunakan kata-kata kotor.
Alhamdulilah, mengingatkan "ngoa ra tei dou ma tua ntoi na".. iya, ini dulu begitu jelas di sampaikan saat ceramah, di kampung dan kadang di sekolah juga..
BalasHapuspuasa ma mbua pala ma tahoo... heee